Antonius, ST
Prof. Dr. -Ing. Uras Siahaan, M. Sc.
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Aktivitas Pertambangan Timah di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yakni dipulau Bangka dan pulau Belitung, telah berlangsung sangat lama lebih dari 200 tahun. Di pulau Bangka dimulai tahun 1711 dan di pulau Belitung tahun 1852. Menurut Anthony Reid (1992:132), banyaknya persediaan timah dipulau bangka dan Belitung baru diketahui setelah tahun 1709. lalu memasuki era kemerdekaan RI dinasionalisasikan menjadi perusahaan milik negara yakni Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU PN Tambang TImah), dan berlangsung hingga sekarang ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan tambang timah swasta dan tambang rakyat.
Era kolonial, pertambangan timah dibangka dikelola oleh badan usaha pemerintah kolonial “Banka Tin Winning Bedrijt” (BTW). DiBelitung dan Singkep dilakukan oleh perusahaan swasta Belanda, masing-masing Gemeeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (GMB) dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM). Setelah kemerdekaan RI, ketiga perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasikan antara tahun 1953-1958 menjadi tiga perusahaan Negara terpisah.
Aktivitas tambang yang telah berlangsung sangat lama, disadari telah menimbulkan banyak persoalan terkait kerusakan lingkungan hidup terutama terhadap kelangsungan ekologi. Berdasarkan hasil pengamatan akan memberikan gambaran kerusakan ekosistem darat dan laut, akibat dan langkah-langkah secara teoritis menurut pendapat para ahli. Langkah konkrit dalam mengatasi dampak kerusakan lingkungan hidup dan upaya mengembalikan lingkungan fisik tersebut agar kembali menjadi ekosistem tempat hidup dan dan berkembang biaknya mahluk hidup yang layak secara ekologis. Serta memberi masukan kepada pemerintah mengatasi kerusakan ekosistem.
Sebagai daerah penghasil komoditas timah terbesar di Indonesia, Pemerintah Daerah Propinsi Kepulauan Bangka dan Belitung serta kabupaten-kabupaten-nya, masih menjadikan timah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan sumber penghidupan sebagian masyarakatnya. Sekalipun Propinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui kebijakan daerahnya sudah memasuki era pasca tambang timah. Namun, aktivitas tambang timah masih terus berlangsung, baik penambangan yang dikelola oleh BUMN, perusahaan wasta lokal dan asyarakat melalui aktivitas tambang rakyat atau sering disebut dengan tambang inkonvensional (TI).
Sejak dikeluarkannya Kepmenperindag 558/1998 dan disusul oleh Kepmenperindag Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 yang melakukan revisi terhadap barang-barang strategis negara dan timah sudah tidak masuk dalam komoditi strategis dan tidak lagi menjadi salah satu barang yang hendak diatur dan diawasi ekspornya. Terbitnya berbagai regulasi selanjutnya menjadi pendorong Pemda dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung menerbitkan peraturan daerah yang intinya mengatur pertambangan timah di daerah yang memberi kesempatan peran serta swasta dan masyarakat dalam aktivitas pertambangan termasuk menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Belakangan kemudian diikuti oleh Pemerintah Propinsi melalui kewenangannya juga banyak menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) khususnya Wilayah Laut.
Ketika kesempatan itu diberikan, swasta dan masyarakat kemudian berlomba-lomba melakukan aktivitas penambangan dengan menggunakan teknologi berbagai cara. Perusahaan-perusahaan tambang swasta lokal bermunculan melakukan aktivitas penambangan dengan menggunakan teknologi alat berat, alat-alat semprot, lalu ditingkat masyarakat melakukan aktivitas menambang timah secara manual dengan peralatan seadanya. Kegiatan-kegiatan penambangan tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tambang timah Inkonvensional (TI). Permasalahan muncul ketika aktivitas penambangan tidak dilakukan di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) tapi sudah merambah kewilayah terlarang seperti wilayah hutan lindung, hutan mangrove, hutan konservasi, Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pemukiman masyarakat.
Lemahnya pengawasan pemerintah daerah, tidak efektif dan tumpang tindihnya regulasi, ditambah dengan aktivitas penambangan yang dijadikan komoditas kepentingan politis, telah membuat tata kelola penambangan semakin carut marut. Sudah bisa dipastikan akibat terburuknya adalah kerusakan lingkungan Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang semakin parah dan tidak terkendali. Aktivitas pertambangan yang terus menerus berlangsung ini, disadari sepenuhnya oleh banyak pihak telah mempengaruhi bentang alam, struktur tanah, kualitas air, udara dan ekosistem di pulau bangka dan pulau Belitung.
Aktivitas tambang inkonvensional (TI) timah Apung diwilayah sungai dan pesisir pantai.
(sumber: tribunnews)
Aktivitas tambang inkonvensional (TI) timah daratan tercipta kolong-kolong “lubang camui” (Sumber: detik finance)
Aktivitas Tambang Timah Darat Dengan menggunakan alat berat (sumber: deteksi)
Aktivitas Tambang Timah laut dengan Kapal Isap Produksi (KIP)
(sumber: media indonesia)
Semakin sedikitnya deposit timah di wilayah daratan memicu maraknya aktivitas tambang di laut, baik yang dilakukan secara legal dalam WIUP laut maupun penambangan laut illegal yang dilakukan masyarakat menggunakan ponton-ponton apung yang merambah hingga kekawasan pesisir pantai yang masuk dalam zona hutan lindung pantai dan konservasi. Sebagai gambaran bahwa telah terjadi alih teknologi tambang laut dari ekploitasi tambang timah dengan metoda kapal keruk hingga era tahun 1990an, lalu beralih menggunakan metoda kapal isap era 2000an. Alih-alih mengatas namakan teknologi ramah lingkungan, fakta di lapangan wilayah laut semakin mengalami kerusakan dan semakin mempertajam gesekan dengan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari kekayaan sumber daya perikanan. Diperparah lagi dengan kehadiran tambang-tambang illegal berupa ponton-ponton tambang inkonvensional apung yang tidak terkendali akibat lemahnya pengawasan dan penindakan secara hukum.
Wilayah Pertambangan (WIUP) dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP)
Berdasarkan Undang Undang No.4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), bahwa Wilayah Penambangan atau selanjutnya disebut Wilayah Ijin Usaha Penambangan (WIUP) adalah wilayah yang diijinkan untuk melakukan aktivitas penambangan didalamnya. Sebagai syarat yang harus diperoleh oleh Badan Usaha, koperasi atau perorangan sebelum memperoleh Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam Satu WIUP dimungkinkan untuk diberikan 1 IUP maupun beberapa IUP.
Didalam Undang Undang Minerba tersebut, Ijin Usaha Pertambangan (IUP) adalah ijin yang diberikan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah NO.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Meneral dan Batubara mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan, IUP diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Perorangan. Pada Pasal 36 UU Minerba diatur bahwa IUP dibagi kedalam dua tahap, yakni: IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
Jenis-Jenis Pertambangan Timah
Jenis Pertambangan Timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung dilakukan di wilayah darat dan wilayah laut. Berdasarkan data Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Bangka 1999-2009 (Interim Report) PT. Interspasia Mitrapublika, Mei 1999 hal IV, 73, jenis-jenis aktivitas pertambangan yang dikenal a.l. Tambang Besar (TB), Tambang Mekanik (TM), Tambang Semprot (TS), Tambang Kapal Isap (TI), Tambang Ganda (TG), Tambang Non Konvensional (TN), Pendulangan (PDL), Operasi Penambangan Kapal Keruk (OPKK) dan Operasi penambangan Kapal Isap Produksi (KIP). Dari setiap jenis pertambangan yang disebutkan di atas, dapat langsung terbaca sistem penambangan yang digunakan dan besarnya wilayah yang dipakai.
Dampak Kerusakan Lingkungan
Kerusakan alam akibat aktivitas pertambangan timah ini telah berlangsung sangat lama, dan sangat berdampak pada kondisi bentang alam, ekosistem dan ekologi darat dan laut pulau bangka dan pulau belitung. Permasalahan ini bisa dilihat dari berbagai segi kerusakannya.
Dampak Kerusakan Darat. Perubahan wilayah hutan menjadi wilayah tambang telah merubah bentang alam secara ekstrim, fungsi hutan yang tadinya menjadi tempat hidup dan berkembang biaknya beragam habitat seperti hewan species asli dan organisme lainnya. Hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai pengatur kelembaban suhu dan udara, sumber resapan air hujan dan cadangan air, telah kehilangan perannya. Telah terjadi perubahan suhu menjadi lebih panas, polusi debu, penurunan mutu dan kualitas air permukaan.
Rusaknya wilayah resapan air karena perambahan hutan dan aktivitas tambang ilegal, membuat banyak wilayah perkotaan di Bangka dan Belitung sering mengalami banjir dan kekurangan air baku dan kering dimusim panas. Dampak lainnya, aktivitas tambang yang merambah ke wilayah DAS telah merusak ekologi sungai, sungai menjadi keruh dan kering dan masyarakat mengalami kesulitan sumber air bersih sebagai sumber kehidupan. DAS yang tercemar limbah dari aktifitas tambang, secara medis akan berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat yang memanfaatkan sumber air tersebut untuk keperluan sehari-hari dalam jangka waktu tertentu dan merusak kelangsungan hidup organisme dan species lainnya. Struktur tanah terbolak balik, tanah yang mengandung logam naik kepermukaan dan wilayah yang ditinggalkan, telah menyisakan struktur dan kualitas tanah yang tidak subur dan tidak sehat, berupa kolong-kolong genangan air dengan PH tinggi dan tidak menguntungkan bagi kelangsungan ekologi.
Dampak Kerusakan Laut. Aktivitas tambang laut, yang dioperasikan menggunakan kapal isap produksi (KIP) dan TI Apung, telah merusak sebagian pesisir pantai, merusak wilayah hutan lindung pantai (hutan mangrove) yang merupakan tempat hidupnya biota laut tertentu dan telah merugikan kehidupan nelayan kecil yang mencari ikan di perairan pesisir laut. Telah membuat air laut menjadi keruh dan berlumpur dan merusak terumbu karang yang menjadi tempat hidup dan berkembang biaknya hewan laut dan spesies ikan karang. Laut yang pernah ditambang, akan meninggalkan limbah yang mengendap didasar laut dan meyisakan pasir laut yang berwarna dan berlumpur, akan menjadi tempat hidup spesies asing baru yang belum diketahui bermanfaat atau tidaknya bagi kehidupan manusia.
Kondisi Kerusakan Ekosistem Darat:
Kondisi Kerusakan Ekosistem Laut:
Langkah-Langkah Mengatasi Kerusakan ekologis
Ada beberapa bentuk rekomendasi sebagai upaya yang bisa ditempuh secara sistematik, terorganisir dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan secara tidak langsung telah ikut melestarikan kelangsungan ekologis, yakni: Reklamasi eks lahan tambang, Konsisten dalam menjalankan perda RTRW dan RZWP3K, Kebijakan ekonomi produktif dilahan eks tambang, Pendidikan Lingkungan Hidup Sejak usia dini, Gerakan sadar Lingkungan Hidup
Selanjutnya langkah-langkah rekomendasi dijabarkan sebagai berikut:
Reklamasi lahan eks tambang menyebutkan dasar pertimbangan Undang-undang Minerba No.4 Tahun 2009, sebetulnya sudah sangat jelas dan tegas mengatur kewaiiban pemegang IUP dan IUPK Dibutuhkan ketegasan, kesungguhan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pelaku tambang dengan melibatkan peran serta masyarakat aktif secara berkelanjutan dalam upaya mereklamasi kembali lahan eks tambang melalui program-program dan kinerja inovasi. Dari sisi kepastian hukum, keberadaan Peraturan Pemerintah dan Peraturan daerah yang secara khusus dan eksplisit mengatur reklamasi eks tambang dan didukung dengan sumber pendanaan yang jelas, serta sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran kewajiban reklamasi adalah langkah yang harus segera ditempuh.
Dari tinjauan akademis dan keilmuan, ada dukungan yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, dalam menyiapkan produk-produk ilmiah sebagai strategi efektif mengatasi kerusakan lingkungan. Tidak lagi mengacu kepada langkah-langkah yang bersifat asumsi. Sehingga langkah-langkah kegiatan reklamasi betul-betul didukung dengan data yang tepat. Termasuk dalam menentukan jenis-jenis vegetasi dan species biota yang cocok yang mempunyai kemampuan beradaptasi dengan kondisi tanah lahan eks tambang dan memiliki nilai ekologis yang baik jangka panjang seperti: tanaman keras sejenis akasia atau tanaman buah-buahan seperti tanaman jambu mente adalah jenis-jenis tanaman yang mampu beradapsi dengan lahan eks tambangtermasuk mengenai kewajiban Reklamasi pasca tambang dan kepatuhan lingkungan.
Konsistensi menjalankan Perda RTRW dan RZWP3K. Perda RTRW sudah mengatur sedemikian rupa tentang pemanfaatkan wilayah darat yang ada dipulau bangka dan pulau Belitung, begitu pula perda RZWP3K yang mengatur pemanfaatan wilayah laut 0 mil – 12 mil. Komitmen bersama untuk mematuhi pemanfaaatan ruang yang sudah ditetapkan adalah langkah untuk menyelamatkan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup di pulau bangka dan pulau Belitung.
Kebijakan ekonomi produktif dilahan eks tambang. Upaya mengembalikan lahan eks tambang agar memiliki nilai ekonomis dan memiliki nilai ekologis, dibutuhkan kebijakan melalui program-program ekonomi produktif yang berorintasi pada Kawasan eks tambang dengan dukungan stimulus dan pembinaan dari pemerintah. Seperti menjadikan Kawasan eks tambang sebagai kawasan objek wisata yang mampu merangsang masyarakat melakukan aktivitas penghijauan dikawasan eks tambang tersebut dan menjadikan Kawasan eks tambang sebagai Kawasan potensial pengembangan tambak untuk budi daya ikan atau species lainnya yang memberi manfaat secara ekonomis dan secara tidak langsung sudah ikut melestarikan kelangsungan ekologis.
Pendidikan lingkungan hidup sejak usia dini. Pemerintah daerah melalui kewenangan otonomi daerah, dapat membuat program-program Pendidikan yang bermuatan muatan lokal (MULOK) disekolah-sekolah, SD-SMP-SMA. Berupa Pendidikan dasar lingkungan hidup untuk menanamkan kecintaan terhadap lingkungan hidup sejak usia dini, pengenalan dan pemahaman dasar tentang dampak-dampak kerusakan lingkungan dan akibatnya dari sisi ekologis.
Gerakan sadar lingkungan hidup, dengan menumbuhkan komunitas-komunitas pencinta lingkungan hidup, mendukungnya sepenuh hati, dan penguatan dalam bentuk peraturan daerah atau setingkat pergub/perbup yang mengatur khusus tentang komunitas lingkungan hidup sebagai salahsatu komponen kekuatan daerah dan memberikan ruang yang luas kepada upaya Gerakan sadar lingkungan hidup, adalah salah satu upaya yang harus ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan bangka Belitung dari kerusakan lingkungan yang lebih parah dan upaya mengembalikan keberlangsungan ekologis.
SEBAGAI SARAN PENUTUP dapat diberikan di sini, sudah saatnya pemerintah daerah dan masyarakat pulau bangka dan pulau belitung, berkomitmen melakukan aksi nyata dan tidak setengah hati didukung dengan kekuatan peraturan derah sebagai bentuk kepastian hukum, dalam mengatasi, mengurangi, meminimalisir kerusakan lingkungan hidup, melalui langkah-langkah konkrit seperti yang telah direkomendasikan dalam tulisan ini. Kelestarian lingkungan dan kelangsungan ekologis yang sehat adalah impian setiap mahluk hidup. Karena apapun bentuk aktivitas ekonomi dan sosial manusia sebagai mahluk hidup, hendaknya sejalan dengan keberlangsungan alam yang juga merupakan tempat hidup seluruh ekosistem yang ada, manusia, hewan, organisme dan tumbuhan-tumbuhan. Ini menjadi kewajiban kita untuk menjaganya sebagai titipan bagi anak cucu kita. Mereka berhak memiliki alam, yang terjaga dengan baik untuk kelangsungan hidup dan masa depan. Demikian pula mahluk hidup lainnya, hewan dan organisme sebagai bagian dari kehidupan ekosistem yang harus selalu dijaga kelestariannya.