Ada sebuah lukisan yang menggambarkan Abraham sedang menengadah ke langit. Yang menarik dari lukisan itu adalah ekspresi wajahnya. Abraham yang sudah bungkuk dan berwajah keriput sedang menatap ke langit yang penuh bintang. Air mukanya menggambarkan perasaan terheran-heran dan terkagum-kagum, tertarik dan terpikat.
Janji Tuhan
Gambar itu melukiskan cerita Kejadian 15:1-6. Pada malam itu Abraham sedang cemas. Ia merasa tidak pasti. Ia merasa tidak aman dalam memikirkan hari depannya. Sejak berusia tujuh puluh lima tahun, ia berkali-kali menerima janji Tuhan bahwa keturunannya akan menjadi bangsa yang besar. Akan tetapi, sampai hari ini belum tampak tanda-tanda perwujudannya. Jangankan menjadi bangsa yang besar, seorang anak pun Abraham tidak punya.
Di tengah perasaan kurang pasti dan kurang aman itu, Tuhan mengajak Abraham keluar dari tendanya. Wah, udara malam itu sangat bersih. Langit sangat cerah. Begitu banyak bintang bertaburan dan berkelap-kelip di langit. Tidak ada sepotong awan pun menutupi langit. Bukan main bagusnya. Bukan main banyaknya bintang. Tidak mungkin bisa dihitung. Lalu Tuhan berkata, ”Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya … Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu” (Kej. 15:5).
Abraham mendengar janji Tuhan itu. Bintang-bintang ini adalah tanda janji Tuhan. Bintang-bintang itu begitu nyata. Inilah janji Tuhan. Begitu nyata. Begitu indah. Abraham terpukau, terpesona, dan terpikat. Lalu Abraham percaya. Pengarang mencatat, ”Lalu percayalah (Ibr.: aman) Abram kepada Tuhan …” (Kej. 15:6).
Percaya
Kata Ibrani aman atau emin berarti mempertetapkan hati, mendasarkan hati, dan mengamankan hati. Kata Indonesia aman dan iman berakar sama dengan kata Ibrani tersebut. Abraham yang semula merasa tidak aman tentang hari depannya, lalu merasa aman. Ia merasa aman dengan janji Tuhan. Ia menyandarkan diri pada janji Tuhan. Ia mengandalkan hari depannya kepada Tuhan. Hatinya merasa aman. Itulah percaya. Itulah iman.
Percaya adalah perkembangan sikap dari rasa kurang tenteram menjadi tenteram, dari rasa kurang pasti menjadi pasti, dan dari rasa kurang aman menjadi aman. Percaya adalah pertumbuhan sikap dari rasa insecure menjadi secure, dari rasa not safe menjadi rasa safe.
Perhatikan bahwa rasa aman Abraham bukan bersumber pada dirinya, melainkan pada janji Tuhan; dan bukan tertuju kepada dirinya, melainkan kepada Tuhan. Hal itu terlihat pada kata-kata kepada Tuhan dalam kalimat ”Lalu percayalah Abram kepada Tuhan …” Abraham menjadi percaya bukan karena melihat dirinya, melainkan karena melihat Tuhan yang ada di balik langit yang bertaburan bintang.
Iman dan Aman
Kata iman dan aman berasal dari akar kata yang sama. Beriman adalah berperasaan aman, bukan gelisah dan gugup. Beriman adalah merasa aman dalam penyelenggaraan Tuhan.
Rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasariah kita. Tiap orang ingin merasa aman. Kita ingin aman dalam hal-hal yang tampak kecil seperti aman dari ejekan, penghinaan, atau penyingkiran. Apalagi dalam hal-hal yang lebih besar seperti aman dari kecelakaan, kejahatan, dan pencurian.
Perasaan aman tidak dapat terjadi begitu saja. Sering kali kita sendiri harus mengusahakannya dengan berbagai cara. Namun, sumber batin untuk rasa aman adalah sikap memercayakan diri kepada penyelenggaraan Tuhan.
Memang berbagai ancaman dan bahaya masih dan akan selalu tetap ada; namun kita tahu kepada siapa kita memercayakan diri, seperti tertulis, ”… aku tahu kepada siapa aku percaya” (2 Tim. 1:12). Abraham menyadari bahwa hari depannya belum memberi kepastian, namun ia merasa pasti, Tuhan akan mengaturnya dengan baik.
Tentang rasa pasti ini Nico Dister menulis dalam buku Psikologi Agama, ”Kepastian iman ini baru diperoleh dalam tindakan percaya itu sendiri … kepastian hanya timbul bila ia menanggapi secara positif ajakan Tuhan untuk menyerahkan diri kepada-Nya … Baru dalam tindakan penyerahan tersebut – dan bukan sebelumnya – manusia memperoleh kepastian.”
Itulah iman. Iman adalah rasa pasti dalam ketidakpastian. Iman adalah rasa aman dalam ketidakamanan. Rasa aman inilah yang dimaksud oleh Frances Jane Crosby dalam nyanyian Safe in the Arms of Jesus yang terdapat dalam Kidung Jemaat 388, dengan judul ”S’lamat di Tangan Yesus”. Nyanyian ini menekankan timbulnya rasa aman dalam tangan Tuhan Yesus yang melindungi. Kita berada dalam pelukan Yesus. Inilah syairnya:
Safe in the arms of Jesus
Safe on His gentle breast
There by His love o’ershaded
Sweetly my soul shall rest
Hark! ’tis the voice of angels
Borne in a song to me
Over the fields of glory
Over the jasper sea
Chorus:
Safe in the arms of Jesus
Safe on His gentle breast
There by His love o’ershaded
Sweetly my soul shall rest