Salam Bapak Pdt. Joas,
Mohon penjelasan, apakah yang dimaksud dengan lembah kekelaman dalam Mazmur 23:4 (TB): “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
Apakah pandemi Covid-19 ini termasuk lembah kekelaman? Bagaimana kita tahu bahwa lembah kekelaman itu kehendak Tuhan atau akibat dosa?
Terima kasih atas penjelasannya.
Salam,
Novinda Dialeta, Tangerang
Novinda yang baik.
Terima kasih untuk pertanyaan yang sangat baik dan relevan bagi situasi yang tengah kita hadapi akhir-akhir ini. Frasa “lembah kekelaman” di dalam Mazmur 23:4, dalam bahasa aslinya memakai kata Ibrani tsalmaveth, yang sebenarnya berasal dari dua kata lagi, yaitu tsel (bayang-bayang) dan maveth (kematian, maut). Jadi kata tersebut secara harfiah diterjemahkan sebagai “bayang-bayang kematian.” Kata ini muncul 19 kali di dalam Alkitab, dua di antaranya terdapat di dalam Perjanjian Baru, tentu dengan frasa berbahasa Yunani (skia tanatou; Mat. 4:16; Luk. 1:79). Di dalam Perjanjian Lama, frasa ini muncul sebagian besar di dalam Ayub dan Mazmur.
Frasa ini bermakna figuratif, sebab ia melambangkan betapa dekatnya kematian dengan hidup kita. Saya membayangkan, sangat mungkin para penulis Alkitab yang mempergunakannya, melakukan perjalanan melewati sebuah lembah yang gelap dan menakutkan. Dan, situasi itu bagaikan menempatkan dia di bawah pengintaian sang maut yang mendekatinya hingga bayang-bayangnya mengenai tubuhnya.
Tampaknya, “bayang’bayang kematian” atau “lembah kekelaman” adalah situasi mencekam dan menakutkan yang mengancam kehidupan manusia. Akan tetapi, lebih dari itu, ia juga adalah kenyataan alamiah bahwa memang setiap makhluk hidup akan menghadapi kematian. Sejak lahir, kita sudah di bawah bayang-bayang kematian. Ada saat di mana bayang-bayang kematian itu sangat kabur dan di saat lain ia sangat pekat dan dekat.
Akan tetapi, menurut seorang penulis bernama Dana Rongione, ada dua hal yang perlu kita sadari. Pertama, bayang-bayang tidak memiliki hakikat pada dirinya. Kematian itu nyata, namun bayang-bayang kematian hanyalah pantulan. Sama seperti ketika kita berada di dekat sebuah pohon, bayang-bayang pohon itu hanyalah pantulan dari pohon. Jadi, kerap kali kita terlalu takut pada apa yang tidak real. Kedua, menurut Rongione, bayang-bayang tidak dapat hadir tanpa terang. Justru, sebuah bayang-bayang baru muncul ketika ada terang. Iman Kristen mendorong kita untuk memusatkan perhatian pada Sang Terang, yaitu Yesus Kristus (Yoh. 8:12; 9:5).
Kita memang suatu saat akan “ditelan” oleh kematian itu, namun di dalam dan bersama Kristus, kita dipeluk oleh Sang Kehidupan. Kita akan mati bersama Dia yang telah mengalahkan kematian dan karena itu kita akan mengalami kehidupan abadi bersama-Nya. Jangan takut!
Covid-19 yang menyeramkan seluruh penduduk dunia ini tak perlu dicari asal-muasalnya, apakah ia dari dosa manusia atau kehendak Allah yang ingin mencobai manusia. Pertanyaan semacam itu sia-sia saja. Yang pasti, ia sudah hadir dan mengancam kehidupan, bagaimana kematian yang telah membayangi umat manusia. Ia menyadarkan kita akan betapa rapuhnya hidup kita. Akan tetapi, yang terpenting adalah, kita menegaskan iman kita, seperti Daud yang berkata, “aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku!” Selamat berjuang dan memperjuangkan kehidupan. (*)
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia