”Men are disturbed not by things that happen,
but by their opinion of the things that happen.”
(Epictetus)
Manusia hidup di tengah sejarah, dengan begitu banyak peristiwa yang hadir di dalamnya. Manusia ikut menciptakan sejarah, mengarahkan dan mengubah sejarah sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
History Maker
Ada banyak catatan historis tentang apa yang dilakukan seseorang dalam penampilannya di pentas sejarah. Penampilan itu bisa saja amat positif, tetapi bisa juga sebaliknya, sangat negatif, bahkan kontraproduktif pada zamannnya. Orang sejenis Nelson Mandela tentu akan berbeda
penampilannya dengan berbagai tokoh lain, misalnya Thomas Jefferson, John Naisbitt, Benyamin Disraeli, atau Tun Razak.
Karya yang diukir dan ditorehkan oleh banyak figur dalam kehidupannya di ruang-ruang kehidupan sebagian besar diwarnai oleh nilai-nilai agama yang dianutnya, selain juga oleh local wisdom dan nilai-nilai budaya yang ada dan berkembang di suatu wilayah.
Ajaran agama, tak bisa disangkal, memberikan pengaruh kuat bagi para penganutnya, sehingga dalam berbagai peran dan kontribusi di tengah masyarakat, nilai agama menjadi unsur pemicu dan pemacu. Dalam konteks itu pembinaan di bidang keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama menjadi amat penting dilakukan oleh lembaga keagamaan.
Tokoh-tokoh besar zaman baheula cukup jelas sikapnya dengan menempatkan agama sebagai bagian integral dari kedirian mereka. Para tokoh besar itu menunjukkan sikap respek terhadap agama.
Tokoh besar bernama Napoleon, sebagai manusia ia tentu memiliki banyak kesalahan, tetapi ia amat menghormati agama. Ketika Madam Campan menerima jadwal sekolah perempuan yang diberikan kepadanya, ia membaca berbagai peraturan. Ia tertarik pada sebuah peraturan yang
berbunyi: ”Gadis-gadis muda harus hadir untuk berdoa dua kali dalam seminggu”. Napoleon membaca dengan kritis peraturan itu. Ia lalu mengambil penanya dan menghapus kata ”dua kali dalam seminggu” dan menggantinya dengan kata ”setiap hari dalam seminggu”.
Menghadapi Turbulensi Hidup
Ajaran agama memang harus benar-benar diinternalisasi dalam pribadi seseorang. Pengajaran agama seintens itu diharapkan akan membuat setiap pribadi memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi turbulensi hidup, tahan terhadap berbagai godaan yang menggiurkan.
Selain internalisasi ajaran agama, memahami dengan baik local wisdom, memiliki kearifan adalah hal penting dalam melayari kehidupan menuju akhir sejarah. Apakah ”kearifan” itu? Menurut Herbert Hoover, kearifan bukan tentang seberapa banyak kita mengetahui apa yang terakhir kali akan kita lakukan, melainkan mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya.
Manusia hidup di tengah tumpukan dan aliran peristiwa yang setiap saat lewat dalam ruang dan waktu kita, bahkan peristiwa itu terkadang berkaitan dengan hidup kita, menyentuh sisi-sisi kehidupan kita. Kita sering memberikan makna dan menafsirkan setiap peristiwa dalam angle alegori atau juga metafora, dan yang terkadang tidak sepenuhnya mampu kita rumuskan maknanya.
Pepatah kita dengan bijak mengingatkan kita bahwa kita tidak begitu terganggu atas peristiwa yang terjadi, tetapi oleh tafsir mereka terhadap peristiwa itu. Mari hadapi setiap peristiwa yang hadir dalam pentas kehidupan kita dengan wajar. Tak usah terpengaruh oleh opini atau tafsir
terhadap peristiwa itu sendiri apalagi tafsir yang bersifat mistis, magis, dan/atau eskatologis, yang datang dari orang lain. (*)
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia