Tahun 2020 ini menjadi tahun yang penuh tantangan, pergumulan, luka dan duka. Sejak awal pergantian tahun, sebagian warga Jakarta dan sekitarnya mendapat “kado” tak terduga: banjir besar. Bahkan, cukup besar sehingga mampu menghanyutkan banyak mobil. Kegembiraan yang baru meluap berganti nestapa dalam sekejap. Ada derita, kecewa, marah, bahkan duka. Namun, ada pula warga yang berusaha menertawakan bencana, seperti terungkap pada sejumlah video dan meme yang beredar di media sosial.
Negeri Rawan Bencana
Indonesia, berdasarkan data dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi; peringkat tiga untuk ancaman gempa, serta enam untuk banjir.
Berbagai bencana datang silih berganti. Korban jiwa dan materi ini berdampak secara sosial, spiritual, dan psikologis. Kehilangan anggota keluarga, rumah, sekolah, tempat ibadah, dan lainnya yang tidak mudah diredam.
Bicara bencana, tidak terbatas pada bencana alam. Zakaria Ngelow dari Oase Intim menyatakan bahwa bencana alam selalu berimbas pada bencana sosial oleh karena ketamakan manusia. “Ada kelompok yang kaya oleh bencana. Ada yang menyalurkan supermi sementara dia mendapat super Kijang,” ujarnya.
Merujuk Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Bencana alam ialah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam, antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Contohnya epidemi virus Corona di Wuhan, RRT yang kemudian berkembang menjadi pandemic Covid-19 yang kini tengah menghantui dunia.
Bencana sosial diakibatkan oleh manusia, meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Krisis kemanusiaan di Nduga, kerusuhan di Wamena, Papua, dan yang terbaru aksi teror yang menewaskan 4 warga Gereja Bala Keselamatan di Dusun Lewonu, Desa Lembantangoa, Kec. Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Asa di tengah Duka

Bencana pada satu sisi dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kemanusiaan. Zakaria Ngelow menyebutnya sebagai blessing in disguise. Berbagai elemen masyarakat secara pribadi maupun bersama-sama turun tangan bahu membahu meringankan beban derita dan duka. Bagaimana gereja memahami dan merespons bencana akibat alam maupun bencana sosial?
Zakaria J. Ngelow, dkk dalam buku Teologi Bencana memaparkan pembahasan komprehensif atas bencana alam dan bencana sosial dalam perspektif teologis. Begitu pula buku-buku karya Philip Yancey, seperti Di Manakah Allah? Menerobos Tragedi, Menemukan Iman Sejati dan Mengapa Engkau Meninggalkan Aku? Pertanyaan Abadi tentang Tuhan dan Penederitaan.
Manusia cenderung keliru menanggapi bencana. Ada yang menilai faktor alam, ada juga yang menganggap sebagai hukuman Tuhan. Benarkah? Apakah gereja cukup siap mendampingi umat juga sesama yang menjadi korban? Bagaimana membangun teologi bencana yang antisipatif dan emansipatif? Berbagai pertanyaan tersebut kiranya dapat menjadi refleksi di penghujung tahun 2020 yang akan segera berakhir ini.
Bencana dapat mengajarkan banyak hal. Menumbuhkan asa atas derita dan duka serta membangun masyarakat yang tangguh bencana. (Gie)