Korea. Negara yang terbelah akibat Perang Dunia II ini belakangan memang fenomenal. Korea Utara heboh dengan isu nuklir. Sedangkan Korea Selatan, K-Pop, drama Korea, dan teknologi dari Negeri Ginseng itu kian merajai dunia. Bagaimana dengan kekristenan di Korea?
Berbeda dengan saudaranya di belahan Utara, warga Korea Selatan mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang. Apakah ada pengaruh dari kekristenan?
Korea Selatan juga menjadi tujuan wisata yang memikat pengunjung dari berbagai penjuru, termasuk Indonesia. Konon, Korsel juga menjadi destinasi wisata rohani nomor tiga terbaik setelah Kota Vatikan dan Yerusalem.
Injil & Martir
Merujuk penemuan arkeologi, kekristenan Nestorian sudah masuk Korea pada abad ke-7 (lihat Sejarah Gereja Asia, (BPK Gunung Mulia). Ada beberapa pendapat yang berberbeda. Namun kekristenan mulai berkembang di Korea pada akhir abad ke-18. Pertemuan Lee Sung Hoon, ahli Kong Hu Cu, dengan sejumlah pastor Barat saat menjadi utusan pemerintah di Beijing pada 1784 membuat ia percaya kepada Yesus Kristus. Setelah ke Korea ia mengabarkan Injil kepada teman-temannya, terutama dari kalangan terpelajar dan pegawai pemerintah.

Penganiayaan terjadi sepanjang tahun 1839 dan 1846 setelah pemerintahan Dinasti Joseon mengeluarkan maklumat anti-Kristen. Banyak yang menjadi martir, di antaranya adalah Andrew Kim Taedon (1822-1846). Ribuan umat berguguran.
Robert Jermain Thomas, utusan London Missionary Society, diserang saat mendarat di Pyongyang, akhir Agustus 1866. Konon, ia sempat memberikan Alkitab kepada orang yang mengeksekusinya. Orang tersebut kemudian menjadi penganut Kristen. Rumahnya menjadi gereja. Pyongyang menjadi pusat Kristen yang kuat dengan munculnya ratusan gereja 15 tahun kemudian.
Kontribusi Kristen
Setelah ada pengesahan kebebasan beragama, awal abad ke-20 Kristen tumbuh dengan pesat. Para misionaris dari Amerika Serikat mulai masuk ke Korea. Mereka berkontribusi pada berbagai bidang. Mendirikan rumah sakit, sekolah, percetakan dan mengajar kuliah dalam berbagai bidang selain agama, seperti pertanian, perdagangan, industri, konsep kebebasan, dan tren budaya yang baru.
Selama pendudukan kolonial Jepang, orang-orang Kristen Korea berada di barisan depan perjuangan untuk kemerdekaan.
Sejarah kekristenan di Korea sejak 1945 memperlihatkan kontras yang besar. Pyongyang semula menjadi pusat Kristen di Korea. Kemudian, gereja ditindas oleh pemerintah Komunis sampai hampir punah. Para pempimpin gereja berusaha mempengaruhi pemerintahan Komunis dibawah Presiden Kim II Sung melalui Partai Demokratik Sosial Kristen.
Sekretaris Kim II Sung, Pdt. Pang Sangsoon, mendirikan Persatuan Kristen, yang pada tahun 1949 sudah menguasai Gereja Presbiterian, Gereja Metodis, dan sekolah-sekolah teologi di Korea Utara. Akan tetapi, upaya Pdt. Pang gagal. Justru sebaliknya yang terjadi, orang Komunis menguasai gereja.
Sementara di Korea Selatan gereja berkembang secara luar biasa. Syngman Rhee, anggota jemaat Metodis berpendidikan Amerika, menjadi Presiden Korea Selatan.
Kekristenan di Korea Selatan

Pada tahun 1950 tentara Korea Utara menyerang Korea Selatan. Peperangan intensif selama tiga tahun menghancurkan banyak desa dan menewaskan korban sekitar 3 juta orang. Lebih dari satu juta orang Kristen di Korea Utara pindah ke Korea Selatan untuk menghindari penganiayaan oleh kebijakan anti-Kristen Korea Utara.
Kekristenan di Korea Selatan tumbuh secara signifikan sepanjang 1970-an hingga 1980-an. Namun sejak tahun 2000-an mengalami penurunan. Kekristenan sangat dominan di bagian barat, termasuk Seoul, Incheon, Gyeonggi dan Honam. Iman Kristen di Korea Selatan didominasi oleh empat denominasi: Presbiterianisme, Metodisme, Baptis, dan Katolik .
Namun, gereja terbesar justru milik gereja Pentakosta, Yoido Full Gospel Church. Gedungnya berbentuk stadion yang mampu menampung 26 ribu orang. Menurut statistik gereja, hampir 1 dari setiap 10 penduduk kota Seoul adalah anggota gereja ini. Gereja Yoido Full Gospel memiliki sekitar 500 ribu anggota.
Tantangan Perubahan
Korea Selatan yang sempat menjadi barometer kekristenan di Asia itu kini tengah menghadapi tantangan perubahan. Kebanyakan orang muda Kristen semakin jarang beribadah ketika mulai dewasa. Pola pikir sekuler kini lebih mengambil alih pemikiran kaum muda. Sebagian pakar mengatakan hal itu akibat mereka terlalu disibukkan oleh sistem pendidikan dan urusan mencari pekerjaan ketimbang untuk ibadah.
“Saya sibuk mengurus anak dan mengatur rumah tangga. Saya kesulitan mencari waktu untuk melakukan hal lain,” ujar Park Hyun-jung. Perempuan berusia 30 tahun ini tinggal di Seoul. Orangtuanya pemeluk Kristen Anglikan. Sejak kecil ia dididik agar taat dalam beragama.
Animo orang Korea Selatan memeluk Kristen melonjak setelah Perang Korea (1950-1953). Saat itu misionaris Amerika Serikat berdatangan membantu rehabilitasi korban perang dan kerabat yang terpisahkan. Namun, kini menurut Badan Statistik Korea Selatan, sebagian besar kaum muda memilih tidak beragama. Dalam sepuluh tahun sejak 2005, jumlahnya meningkat 10%, dari 46,9% menjadi 56,9%.
Secara statistik, jumlah gereja di sebagian besar kota di Korea Selatan lebih banyak ketimbang pusat perbelanjaan. Sekitar 19.7%, warga memeluk Protestan, dan mereka menjadi mayoritas. Sedangkan 15,5% beragama Buddha, dan 7,9% mengaku Katolik. Namun, semua itu lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak beragama, 56,9%.
Profesor Andrew Eungi Kim, pengajar di Universitas Korea menyatakan, “Anak muda Korea Selatan zaman sekarang terjebak siklus belajar di kampus, terus mendapat kerja nyaman. Mereka juga dimanjakan teknologi dan hidup santai. Semua hal itu menjauhkan mereka dari gereja.”
Upaya Kreatif
Menurunnya kesadaran beragama di kalangan muda Korea Selatan membuat gereja berpikir kreatif untuk memikat mereka kembali. Gereja Katedral Anglikan Seoul yang memiliki jemaat muda berjumlah sekitar 3.000 orang mencoba beberapa cara. Mereka membuat Kelas Minggu menjadi lebih ‘kekinian’ dengan acara semacam bincang-bincang mirip di televisi. Materinya lebih banyak membahas masalah sehari-hari. Sementara itu, Jejaring Gereja SaRang memilih mengembangkan aplikasi ponsel pintar untuk membantu muda-mudi mempelajari Alkitab dari ponselnya.
Untuk menarik minat kaum muda, Pdt. Nak-hyon Joseph Joo (49) dari Gereja Katedral Anglikan Seoul mengadopsi konsep pembelajaran dari Amerika Serikat, “Theology on Tap”, semacam kelas pemahaman Alkitab. Kegiatannya bisa di restoran, bar, atau lainnya. Pdt. Joo biasanya memilih kedai kopi. Dia mengundang segala kalangan. Topik pembahasannya tidak melulu soal kitab suci. Dia menyisipkan pembicaraan tentang masalah pribadi, sosial, hingga mengobrol soal politik.
Pendeta. Joo juga membuka Studi Alkitab Kilat. Belajar dasar-dasar ajaran Kristen dan budaya selama 13 pekan. Dengan cara itu, Joo hendak menyampaikan perubahan pola pikir mewartakan firman dengan luwes dan pesannya sampai kepada kalangan muda. (Gie/dbs)