Kemarin, segera setelah mendarat pukul 06.10 pagi di bandara El-Tari, saya diperhadapkan dengan sisa-sisa badai, yang telah memporak-porandakan sebagian kota Kupang. Di beberapa median jalan utama, pohon-pohon besar tumbang sampai ke akar-akarnya. Menyaksikan pohon tumbang sudah biasa, tetapi tercabut sampai ke akar-akarnya, dan pohon besar berusia tua pula, merupakan hal baru bagi saya. Saya tak bisa bayangkan besar dan pola tiupan angin puting beliungnya.
Sepanjang perjalanan menuju Amanuban Selatan, ketika hendak meninjau salah satu lokasi terdampak badai, saya menyaksikan kerusakan yang diakibatkan oleh musibah ini. Desa Bena yang merupakan lumbung padi NTT, dengan 1.700 ha sawah, terancam gagal panen kali ini, oleh kerusakan yang diakibatkan badai ini. Padahal sebagiannya tinggal menunggu panen sebulan lagi.
Tiba di desa Bena, yang masuk Kabupaten Timor Timur Selatan, saya melihat beberapa tentara, polisi dan para pemuda GMIT sedang bekerja keras membongkar bongkahan lumpur yang sudah mulai mengering dari pemukiman penduduk.
Tiba di gedung gereja GMIT Bethel Toinunuh, saya bergabung dengan para pengungsi, kebanyakan lansia dan anak-anak. Yang lain sedang bergotong-royong. Saya sempat berbincang dengan Bapak Camat, Kapolsek dan Danramil bersama Ibu Pdt. Merlin Tanesak.
Mendengar kisah-kisah memilukan dari para penyintas, sungguh menyayat hati. Saya tak mampu membayangkan derita yang harus mereka pikul, terlebih setelah menyaksikan dampak yang disisakan oleh badai tersebut.
Membaca laporan berkala Ibu Merry Kolimon, Ketum GMIT, serta mengikuti berita di media masa selama ini, hati sangat teriris karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Tetapi menyaksikan sendiri tingkat kerusakan yang begitu parah, dan mendengar langsung kesaksian para penyintas, saya tak mampu berkata-kata. Saya baru tiga jam tiba di sini dan kecamuk hati saya tidak karuan melihat sisa-sisa badai ini. Saya, lagi-lagi, tak mampu bayangkan saat peristiwa itu terjadi.
Sepanjang jalan saya menyaksikan kerusakan yang terjadi, terutama menyangkut sumber-sumber ekonomi.
Solidaritas
Saya dihiburkan oleh solidaritas gereja-gereja yang tergerak merasa sepenanggungan. Dan lebih terhibur lagi menyaksikan para pelayan yang melayani dan mengkoordinir posko-posko GMIT untuk bantuan. Pastori Ketum GMIT berubah menjadi “markas komando” penanganan bencana. Sangat bersyukur dengan kesigapan GMIT dalam hal ini.
Melihat besarnya tingkat kerusakan, terutama sumber-sumber ekonomi, nampaknya harus ada upaya ekstra. Proses rekonstruksi akan makan biaya besar dan waktu yang lama.
Dari beberapa lokasi yang dilanda banjir, saya menyaksikan sendiri rumah-rumah yang kosong melompong, karena semua harta benda yang ada di dalamnya sudah tersapu banjir besar yang menerpa. Di sebagian tempat, saya menyaksikan hanya bekas rumah, karena rumahnya habis tuntas dihanyutkan arus deras. Tak terhitung banyaknya ternak (sapi, babi, dan kambing) yang hilang lenyap dan sempat meninggalkan bau yang cukup memgganggu.
Hal yang mencengangkan adalah ketabahan dan ketangguhan masyarakat, dan kebersamaan mereka dalam menghadapi badai ini. Hilang seluruh sekat di antara mereka, tak lihat latar belakang denominasi dan lain-lain: mereka bersatu. Para pendeta melayani umat tanpa pandang bulu.
Butuh Alkitab
Hal lain yang tak kalah mencengangkan saya, tak seorang pun mengeluh tentang hilangnya harta benda. Satu-satunya yang mereka sedihkan adalah punahnya Alkitab dari rumah-rumah, dan mereka berharap bisa segera mendapatkan bantuan Alkitab. Buat saya ini sangat luar biasa.
Saya bertemu dengan beberapa pendeta yang mengalami hal sama. Semangat mereka tak surut sama sekali. Kembali mereka sesalkan tentang Alkitab ini, dan buku-buku mereka yang lenyap semua.
Pdt. Daud Tari, Ketua Majelis Jemaat GMIT Elim Naibonat, Klasis Kupang Timur, yang kami kunjungi tadi malam, berkata: “Hari Minggu ini saya harus pinjam Alkitab. Soal pakaian saya tidak risaukan. Saya bisa khotbah pakai sarung. Tapi untuk ibadah kan harus pakai Alkitab!”
Kepada saya ditunjukkannya bagaimana terjangan banjir meluluh-lantakkan rumahnya. Bahkan tembok pagar gereja yang selama ini berdiri kokoh, rubuh tak bersisa. Beruntung gedung gereja tetap utuh.
“Kami akan beribadah duduk di lantai saja nanti, karena semua bangku gereja tersapu habis!” ujarnya.
Tadi pagi kami berkunjung ke Desa Nefo, di Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang dilanda longsor. Empat belas rumah di tepi jalan amblas tak berbekas tertimpa longsor, dan memutus jalan tersebut. Selain itu, Mamar (perkebunan tradisional yang menjadi andalan penduduk) habis tertimpa longsor. Desa pemasok utama kebutuhan pisang, kelapa dan pinang untuk kota Kupang ini jelas kehilangan mata pencaharian.
Saya banyak belajar dari kinerja Majelis Sinode (MS) GMIT dalam merespons bencana ini. Gedung-gedung gereja menjadi tempat pengungsian dan semuanya dilayani dengan sangat baik. Posko-posko bantuan bencana dibentuk di berbagai tempat dan langsung dikoordinasi oleh MS. Kerja sama baik dengan berbagai instansi pemerintah, misalnya Dinas Kesehatan, memungkinkan jangkauan pelayanan berjalan baik. Di semua posko tersedia dokter dan nakes yang dikordinasikan dengan Puskesmas setempat. Pengerahan aparat dari Polsek dan Koramil setempat pun patut diacungi jempol.
Sore ini saya akan ke Rote dan rencananya Sabtu akan ke Sabu. Kerusakan di Sabu, saya dengar jauh lebih parah.
Sobat sekalian, saya kira tidak saatnya lagi berkata: “Saudara-saudara yang menderita di NTT”, tetapi saatnya untuk mampu berkata, “KITA menderita di NTT”.
Kehadiran saya di NTT, atas nama gereja-gereja di Indonesia, semoga bisa menghiburkan saudara-saudara kita, bahwa derita ini adalah derita kita semua.
Dari pengamatan sepintas saya selama dua hari ini, kebutuhan sembako dan bantuan darurat lain, sangat baik dikelola oleh MS GMIT dan posko-posko yang mereka bentuk. Namun, melihat luasnya kerusakan dan banyaknya korban, tentu ini membutuhkan topangan kita semua.
Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengumpulkan sebanyak mungkin Alkitab dan buku-buku teologi, khususnya yang dapat membantu para pendeta mempersiapkan khotbah mereka. Untuk maksud ini, jika para sahabat tergerak mendonasikan Alkitab dan buku-buku, baru atau bekas, bisa segera dikumpulkan di Salemba, teman-teman di PGI bisa segera mengirimkannya ke NTT.
Kalau anda tergerak untuk mendonasikan dalam bentuk uang, silakan transfer ke:
BNI Matraman, No. Rek.: 000.893.266.1, atas nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Bank Mandiri Matraman, No. Rek.: 006.006.000.034.0, atas nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Jika transfer dana, mohon jumlahnya diakhiri dengan “24”. Misalnya untuk Rp 100.000,- menjadi Rp 100.024,- ***
