Memasuki Era Revolusi Industri 4.0 terjadi berbagai disrupsi karena VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity), pelayanan gereja pun perlu menyesuaikan diri. Kini, setelah pandemi Covid-19 merebak, tantangan itu semakin besar. Pada satu sisi membatasi ruang gerak fisik dan berdampak pada berbagai krisis, namun pada sisi lain membuka peluang pelayanan dan berjejaring dengan luas. Bagaimana kolaborasi pelayanan Gereja di era “new normal” ini?

Elya Geraldy Muskitta
Dalam rangka Jubelium 70 Tahun, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengadakan zoominar “Kolaborasi Online Antargereja: Peluang Pengembangan Pelayanan di Era 4.0” (23/06/2020). Topik ini disampaikan oleh Elya Geraldy Muskitta, pakar IT, penggagas OIKONOMICS, dan founder Industry 360º. OIKONOMICS merupakan program Pembangunan Ekosistem Ekonomi-Sosial Komunitas Berbasis Gereja yang dibangun dengan dukungan teknologi digital dan jaringan kolaborasi industri.

Sekum PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty sebagai moderator menyatakan bahwa sebagai bagian dari Tubuh Kristus, gereja-gereja di Indonesia tentunya sudah membangun jaringan kolaborasi dalam berbagai skala yang berbeda. Kolaborasi yang dulu sebatas offline, sekarang bisa meningkat secara online. “Sekarang bagaimana semua simpul gereja itu dikolaborasikan sehingga menjadi kekuatan yang besar, skalanya menjadi jauh lebih besar. Perlu ketahanan ke depan, saling support, dan lain-lain,” ujarnya.
Pembahasan tersebut kami turunkan dalam liputan khusus. Pada bagian pertama menguraikan kolaborasi online yang tengah dilakukan oleh PGI dengan Pelayanan 4.0. Bagian kedua memaparkan kolaborasi offline yang dikerjakan oleh Gereja Kristus Yesus (GKY) melalui program Pusat Pelatihan Misi Terpadu (PPMT) MILITAN.
PGI: PELAYANAN 4.0 Dalam MEMPERKUAT RAJUTAN OIKOUMENE
Elya G. Muskitta memaparkan lanskap baru peluang pelayanan melalui kolaborasi online yang diinisiasi oleh PGI. Sebelum Covid-19, kata Elya, PGI sudah menyiapkan platform Pelayanan 4.0 untuk membangun jaringan kolaborasi online yang mencakup lintas gereja, lintas komunitas, lintas organisasi, dan lintas iman. Kini, akibat pandemi Covid-19, urgensi itu kian mendesak akibat resesi ekonomi yang disebut Elya sebagai Resesi Corona; terjadi penurunan daya beli, daya tahan, daya saing, bahkan iman.
Namun, lanjut Elya, pandemi ini juga membuka peluang baru dalam pelayanan gerejawi dan pelayanan ekonomi secara online. Peluang ini perlu disikapi dengan kolaborasi sehingga terjadi efisiensi. Posisi tawar terhadap industri juga meningkat. Untuk itu, Gereja perlu melakukan pemetaan potensi dan kondisi jemaat berbasis Big Data, kemudian dibangun platform kolaborasi dan platform marketplace. Sebagai pendukung, juga diperlukan platform permodalan/pembiayaan, platform pendidikan dan pengembangan kapasitas, dan platform komunikasi.
PGI DIGITAL LANDSCAPE
Untuk itu, Elya menjelaskan bahwa PGI terus bertransformasi memperbesar kapasitas fungsinya sebagai fasilitator, khususnya di ranah digital, dengan menerapkan konsep shared services. Ada tiga bagian yang dikembangkan. Pertama, sentra pembangunan dan pengembangan jaringan kolaborasi. Kedua, sentra pembangunan dan pengembangan inisiatif berbasis digital. Ketiga, Program Management Office (PMO) bagi Program Strategi Lintas Gereja.
“PGI mulai merintis jaringan dan membangun shared services center dengan menempatkan salah satu server fisiknya di kantor PGI. Kalau server fisik sudah berjalan, kita punya jaringan video conference jauh lebih baik daripada yang kita gunakan saat ini,” janji Elya.
Elya juga memaparkan sejumlah platform yang sudah dan tengah dikembangkan bersama. Ada Digiskool untuk sekolah online. PGI Center untuk seminar semacam zoom. Ada portal untuk konsultasi online. PasarKasih online yang dijalankan ibu-ibu pendeta di Kupang. Selain itu, sekitar 15-16 platform khusus untuk mama-mama sudah siap. Ada PasarMama untuk jualan segala macam. Ada MenuMama, PundiMama, JaringanMama, dan lain-lain. Sekarang sudah ada 20-30 kelompok yang bisa melakukan cross sell dan cross funding. “Intinya, semua kuncinya kembali pada satu kata: kolaborasi,” tandasnya.
Menurut Elya, platform jaringan Mama-mama itu bertujuan untuk membangun program ekonomi yang lebih sustainable. “Mama-mama itu pilar ekonomi keluarga. Mereka lebih mudah berkolaborasi, multitasking, dan tahan banting. Mama-mama secara umum mampu mengelola keuangan lebih baik,” ujarnya.
TANTANGAN
Pelayanan Gerejawi, kata Elya, memang bukan bisnis, tetapi cakupan wilayah pelayanan, kebutuhan akan kelengkapan jaringan rantai pasok sampai dengan rantai nilai menuntut Gereja untuk senantiasa mencari terobosan-terobosan baru dalam membangun keberlanjutan dan daya saingnya. Pelayanan gereja bersaing dengan berbagai opsi layanan sekuler yang sebagian besar jauh lebih menarik. Oleh karenanya, gereja perlu berkolaborasi untuk menghadirkan inisiatif-inisiatif yang inovatif, kompetitif, dan berkelanjutan di era pandemi Covid-19 dan tantangan ekonominya.
Gereja di Indonesia yang berada pada wilayah geografi yang sangat beragam menjadi tantangan tersendiri. Ada di kota, desa, kepulauan (GPM, GMIT), sampai wilayah-wilayah terluar. Ada kendala infrastruktur fisik dan belum semua terkoneksi internet. Untuk masalah logistik, Elya menganjurkan agar memanfaat sarana dan prasarana yang ada. Sedangkan masalah koneksi internet, PGI sudah mempunyai kerja sama dengan jasa satelit. “Di daerah mana pun bisa dihadirkan jaringan internet dalam tiga hari. Sidang Raya PGI di Sumba merupakan show case,” ujarnya.

Tantangan berikutnya, masalah mindset. Apakah berani keluar dari pakem? Ketum PGI Pdt. Gomar Gultom menanggapi hal ini dengan menunjukkan beberapa gereja yang sudah berani keluar dari kungkungan pakem. Misalnya GBKP, GKPS, GKY, Gereja Bali. “Masing-masing masih bekerja sendiri-sendiri untuk wilayahnya. Tapi dengan platform yang dibangun, kita bisa melihat daerah mana surplus apa atau perlu apa. Kita bisa berkolaborasi. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dilakukan oleh gereja dengan platform ini,” tegas Pdt. Gomar.
BERANI MELANGKAH

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, perlu keberanian melangkah. Bicara gereja secara organisasi, bisa jadi mengalami banyak kendala struktural. Jika gereja belum siap, Elya mengajak warga gereja yang siap berkolaborasi. Hal itu disetujui oleh Pdt. Hari Sudjatmiko dari GKY. “Setuju, jangan menunggu persetujuan. Beri pelatihan-pelatihan kepada jemaat yang terbuka. Setelah mereka memperoleh pendapatan tambahan akhirnya diterima,” ungkapnya.

Moderamen Agustinus mengisahkan pengalaman GBKP. Adanya BPR karena keberanian senior alm. Pdt. Borong. “Dari pengalaman, kita perlu orang-orang yang setengah gila. Pada saat bencana Covid-19, kami terinspirasi untuk membuat sesuatu yang baru. Atas inisiatif seorang warga gereja, terwujud aplikasi TIGATA (lihat rubrik Fokus). Kita tidak perlu sidang sinode untuk aplikasi ini. Kita lihat kebutuhan di lapangan. Sekarang sudah 13 Klasis yang terlayani,” tuturnya.
Hal senada dikatakan oleh Pdt. Hariman Pattianakotta. “Pendekatan struktural memang sulit. Jadi harus dimulai oleh warga jemaat yang memang membutuhkan. Ini terobosan yang harus berani dilakukan oleh PGI sehingga gerakan ini bisa menjawab kebutuhan ekonomi warga jemaat dan masyarakat,” ungkapnya.
OIKUMENE PARTISIPATORI

Kolaborasi yang digagas PGI ini merupakan peluang untuk mengembangkan berbagai bentuk pelayanan dan potensi ekonomi umat. Selain itu, juga mewujudkan slogan oikoumene yang sejauh ini masih sebatas wacana. “Saya kira kolaborasi ekonomi yang ditawarkan PGI saat ini sangat penting dan justru membuka ruang untuk mewujudkan slogan oikoumene. Ini momentum untuk meng-create sesuatu yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh umat,” kata Pdt. Hariman.
Pdt. Jacky Manuputty menandaskan, ketika bicara gereja, ada 3 pilar yang menopang, yaitu: umat, pelayanan, dan institusi. “Dalam transformasi ke depan, ketiganya juga harus membangun kolaborasi yang kuat dan mentransformasikan diri sebelum kita melakukan karya yang lain,” tegasnya.
Menurut Elya, “jaringan gereja” ini memang bukan mewakili gereja, kecuali gereja secara institusi bergabung. Namun demikian, memiliki kekuatan pada bonding, kekerabatan, pertemanan, relasi, di luar sekadar hubungan bisnis. Ia mencontohkan, dalam tiga bulan ini ada sekitar 47 pendeta dan professional yang bergabung dalam kelompok konseling pastoral di PGI. Mereka bergabung bukan atas nama gereja, tapi concern di bidang itu. “Walaupun dari berbagai macam gereja, tapi harmonis. Inilah oikoumene yang sebenarnya, participatory ecumenical. Kalau di non-profit saja orang datang karena panggilan, apalagi yang profit. Saya jamin akan lebih kompetitif,” ujarnya. (Gie)