Bapak Pdt. Joas yang bijak,
Belakangan ini terjadi kemanusiaan akibat konflik Israel Palestina yang masih terus berlangsung. Banyak pendapat pro-kontra yang beredar di kalangan kristiani, termasuk di media sosial. Mulai dari simpati hingga antipati pada pihak Palestina. Ada yang membela Israel dengan merujuk ayat-ayat Alkitab. Padahal, di Palestina juga ada orang Kristen. Bahkan tidak sedikit gereja yang berdiri bersama rakyat Palestina menentang agresi Israel.
Bagaimana kita sebagai umat Kristiani menyikapi konflik Israel Palestina ini? Apa yang bisa kita lakukan? Mohon penjelasan dari Bapak Pdt. Joas. Terima kasih.
(Rossy M, Jakarta)
Sdri. Rossy yang baik.
Konflik Israel-Palestina merupakan sebuah isu yang luar biasa kompleks. Kita tidak boleh membahas konflik yang berlangsung di Jalur Gaza belakangan ini sebagai sebuah peristiwa yang terpisah dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Secara mendasar, konflik Israel-Palestina muncul karena agresi dan pendudukan Israel atas tanah Palestina. Salah satu badan PBB, yaitu OHCHR (Office of the High Commissioner for Human Rights), dengan tegas menyatakan hal tersebut. Dewan Gereja-gereja Dunia (WCC) juga memberikan sikap yang sangat jelas terhadap isu ini, yang dapat dilihat di dalam situs mereka: https://pief.oikoumene.org/en/world-week-for-peace/resources/wcc-policy-on-palestine-israel1.
Dalam konflik berkepanjangan kedua negara itulah, tindakan serang-menyerang terus saja berlangsung. Dari pihak Palestina kita juga menyaksikan gerakan garis keras Hamas yang juga melontarkan serbuan rudal ke wilayah yang diduduki oleh Israel.
Proses-proses menuju resolusi dan perdamaian tentu saja terus berlangsung. Berbagai alternatif terus dipikirkan, seperti solusi dua-negara, dua-kewarganegaraan, tanpa-negara, dan sebagainya. Belum lagi jika kita mempercakapkan status khusus Yerusalem sebagai kota suci tiga agama, yang kini justru dikuasai hanya oleh Israel.
Sekalipun konflik Israel dan Palestina senantiasa melibatkan rakyat yang terdiri atas umat Yahudi, Kristen, dan Islam, namun kita harus menegaskan bahwa konflik ini adalah konflik politis dan bukan konflik agama. Demikian pula, penafsiran bahwa negara Israel masa kini adalah kelanjutan dari bangsa Israel Alkitab harus ditolak secara serius. Sikap menyamakan keduanya inilah yang sering dianut oleh sebagian orang Kristen, khususnya kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat. Akibatnya, orang-orang Kristen tersebut akan dengan mudahnya membenarkan pendudukan Palestina oleh Israel sebagai kehendak Allah.
Anda benar bahwa sikap dan cara memandang yang sempit ini mengaburkan kesadaran bahwa pendudukan Israel atas Palestina telah mendatangkan kesengsaraan rakyat Palestina. Resistensi Hamas dengan jalan kekerasan memang tidak bisa dibenarkan, namun harus dipahami sebagai reaksi atas agresi Israel tersebut.
Belum lagi, ketika banyak orang Kristen menyamakan situasi politis ini sebagai masalah relijius, lantas bersikap pro-Israel karena beranggapan bahwa Palestina mewakili Islam. Sikap ini sama dengan sikap banyak orang Muslim yang pro-Palestina karena menganggap bahwa Israel sama dengan Zionisme dan bahwa Palestina mewakili Islam. Padahal, Palestina sendiri merupakan sebuah negara yang majemuk.
Hingga kini, orang-orang Kristen Palestina selalu menyuarakan suara hati mereka yang menjerit karena banyak orang Kristen dari belahan dunia lainnya—termasuk orang-orang Kristen Indonesia yang suka dengan tur rohani ke Yerusalem—yang tidak peduli pada nasib mereka di Palestina dan menganggap bahwa Israel masa kini adalah bangsa pilihan Allah. Teriakan ini terekam dengan sangat mendalam dalam dokumen yang disebut “Kairos Palestine” (http://www.kairospalestine.ps/).
Pilihan Sikap
Jadi, bagaimana kita harus bersikap? Saya percaya kita harus memihak satu sisi saja. Tetapi sisi itu bukanlah Israel atau Palestina. Kita harus berpihak pada kemanusiaan, beserta dengan nilai-nilai yang mengiringinya: keadilan, perdamaian, kesetaraan, dan sebagainya.
Berdasarkan prinsip pemihakan pada kemanusiaan tersebut, kita bisa menegaskan bahwa pada prinsipnya kita menolak pendudukan Israel atas Palestina. Namun, dengan prinsip yang sama pulalah kita bisa menolak strategi kekerasan yang dilakukan oleh Hamas terhadap orang-orang Israel, maupun penyerangan Israel belakangan terhadap daerah pemukiman di Jalur Gaza.
Sebaliknya, prinsip tersebut mendorong kita untuk mendukung seluruh usaha dan inisiatif perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan yang berlangsung baik di Palestina maupun Israel, yang sayang kerap tidak kita simak dengan baik suaranya.
Untuk literatur lebih lanjut, saya menyarankan dua buku yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia, yaitu karangan Naim S. Ateek, Semata-mata Keadilan, dan karangan Gary M. Burge, Palestina Milik Siapa? Semoga bermanfaat. ***
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia