Belajar dari sejarah dan tokoh masa lalu, ketidaktahuan dan kebencian dapat membunuh anak kandung revolusi. Salah satu korbannya adalah Amir Hamzah, Raja Penyair Zaman Pujangga Baru. Tokoh pergerakan yang tergabung dalam perkumpulan ‘Indonesia Moeda’ ini berakhir tragis saat terjadi revolusi sosial di Langkat, Sumatra Utara.
Dalam pertunjukan teater Nyanyi Sunyi Revolusi yang digagas oleh Titimangsa Foundation, pemain watak Lukman Sardi dipercaya menjadi sosok Amir Hamzah. “Ini peran yang luar biasa. Amir Hamzah ini seorang pejuang pergerakan tapi sekaligus seorang yang taat kepada sultan dan adat. Ini dua hal yang sekarang ini langka,” kata Lukman.
Saat terjadi revolusi sosial pada awal kemerdekaan Indonesia, Amir Hamzah diculik karena dianggap bagian dari feodalisme. “Dia tidak membela diri atau membantah. Justru dia melihat ini sebagai takdir dan tidak membenci. Dia bilang pada istrinya untuk tidak menaruh dendam; kemarahan kepada orang lain. Ini perjalanan takdir. Dia menerima apa pun yang disuratkan Tuhan. Tuhan sebagai junjungan, apa pun diterima,” ujarnya.
Belajar dari Amir Hamzah, bagi Lukman hal memaafkan itu penting bagi bangsa kita saat ini. “Itu penting banget, bahwa manusia itu sudah diajarkan untuk memaafkan, mengampuni – seperti diajarkan oleh Tuhan. Pada saat ciptaan-Nya bertobat sungguh-sungguh, Dia ampuni. Masakan kita ciptaan-Nya tidak mau memaafkan? Itu seharusnya tidak terjadi. Masa tahun politik ini penting supaya tidak terjadi gonjang-ganjing. Caleg-caleg harusnya nonton ini,” pungkasnya. (Gie)