Salam Bapak Pdt. Joas,
Dalam Kisah Para Rasul 4:34 isi pokoknya: semua orang (percaya) yang mempunyai tanah atau rumah menjualnya; hasilnya diserahkan kepada rasul-rasul, dibagikan kepada setiap orang sesuai keperluannya.
Mohon penjelasan:
(1) Seberapa jauh tindakan tersebut dapat dibenarkan dan atau tidak dapat dibenarkan?
(2) Apakah hal tersebut masih ada relevansinya (bagi gereja) masa kini?
Terima kasih.
(Parno, Kudus)
Saudara Parno di Kudus,
Kisah kehidupan jemaat mula-mula selalu menawan banyak orang Kristen masa kini. Mereka menganggap kehidupan jemaat mula-mula sebagai sebuah kehidupan gerejawi yang ideal. Tentu hal itu ada benarnya, sekali pun tidak sepenuhnya tepat. Sebab, mereka juga berjuang dan bergumul menghadapi keburukan-keburukan hidup, termasuk di dalam jemaat itu sendiri.
Menariknya, penulis Kisah Para Rasul tidak sungkan dalam memaparkan keburukan-keburukan tersebut. Misalnya, setelah kisah kehidupan jemaat mula-mula di dalam Kisah Para Rasul 4, muncul kisah Ananias dan Safira yang menggelapkan uang yang mereka akui telah diserahkan kepada jemaat (Kis. 5:1-11). Kisah ini menjadi salah satu noktah gelap kehidupan jemaat yang disangka ideal tersebut, yang sesungguhnya mencerminkan keserakahan manusia beragama.
Khusus mengenai pertanyaan Bapak, kita perlu memahami teks ini dalam perspektif pewartaan mengenai sebuah kehidupan bersama yang diwarnai oleh kesejahteraan bersama. Kehidupan gereja yang sehat harus tercermin di dalam kehidupan sesehari anggota-anggota jemaatnya. Tidak boleh ada yang hidup kurang apalagi berkekurangan, tidak boleh ada yang melimpah apalagi berkelimpahan. Itulah pesan utama teks Kisah Para Rasul 4:32-37. Dan, semua itu didorong oleh kuasa Roh Kudus yang hadir dan berkarya di dalam kehidupan umat. Oleh karena itu, kisah ini sesungguhnya masih terus relevan bagi kehidupan gereja Tuhan pada masa kini, di mana pun mereka berada.
Jika kita perhatikan dengan seksama, prinsip kesetaraan ekonomis ini ditampilkan secara menarik. Jemaat mula-mula itu percaya sungguh bahwa seharusnya “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (ay. 34a). Keyakinan ini mendorong mereka untuk mengolah gaya hidup mereka, yaitu dengan beberapa langkah.
Pertama, “semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu” (ay. 34b). Hal ini tidak berarti bahwa, setelah menjual “tanah atau rumah” mereka kehilangan segala sesuatu. Tampaknya yang dimaksud di sini adalah harta kepunyaan yang melebihi dari apa yang mereka butuhkan. Singkatnya, mereka menjual sisa dari yang dibutuhkan. Sebab, jika ada seorang yang hidup berlebihan pasti ada juga orang lain yang hidup berkekurangan.
Kemudian, yang kedua, “hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul” (ay. 34c-35a). Para rasul dianggap sebagai penatalayan (steward) dari proses pemerataan tersebut. Di sini terlihat akuntabilitas para pelayan Kristus ini. Mereka sungguh dipercaya.
Setelah itu, yang ketiga, apa yang dikumpulkan kepada para rasul itu “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.” Lihatlah bagaimana prinsip yang dipergunakan dalam proses pemerataan itu adalah bahwa setiap orang hidup sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kisah ini tidak menjustifikasi prinsip komunis di mana semua orang hidup sama rata, sama rasa. Kisah ini menegaskan keunikan setiap orang lengkap dengan kebutuhan masing-masing, yang berbeda dari satu orang ke orang yang lain.
Jadi, bukan saja kisah ini masih relevan untuk masa kini. Ia juga menjadi prinsip dasar yang tetap harus diperjuangkan oleh gereja-gereja Tuhan pada masa kini. Bayangkan, betapa luar biasanya dampak kehadiran kekristenan di Indonesia, jika gereja-gereja berusaha sekuat tenaga mereka untuk: 1. hidup berbagi; 2. hidup secukupnya; 3. hidup dalam keadilan.
Akhirnya, kisah ini ditutup dengan sebuah teladan yang diperlihatkan oleh Yusuf atau Barnabas yang melakukan projek keadilan semacam ini. Maksudnya jelas, yaitu bahwa ternyata prinsip yang ideal itu sungguh-sungguh dapat dikerjakan (doable). Tak cukup jika setiap orang percaya pada prinsip ini, tapi semua orang menantikan orang lain untuk mengerjakannya, “asal bukan saya”. Perubahan bisa terjadi … dan itu dapat dimulai dari “saya”. Semoga bermanfaat.
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia