Jantung saya berdebar melihat kemacetan Jakarta yang sangat parah siang itu. Pasalnya saya harus menghadiri “knowledge sharing” di sebuah perusahaan dan waktu tinggal 60 menit dari jadwal yang ditentukan. Pikiran saya berandai-andai untuk berhenti kemudian menyeberang jalan. Ringkas, dan pasti tidak akan terlambat.
Sayangnya saat itu hujan, dan saya membawa koper besar karena selesai acara, saya akan lanjut ke bandara untuk mengajar di luar kota. Saya pun bergumam, “Kalau tidak hujan dan tidak membawa koper, saya pasti turun di sini lalu menyeberang.”
Sopir taksi menyahut, “Ibu ingin berhenti di sini?” “Iya Pak, tapi saya tidak membawa payung dan ada koper.” “Oh, kenapa tidak bilang dari tadi? Bisa Bu, tidak apa-apa, saya ada 2 payung. Koper nanti saya yang bawakan.” Saya kaget dan langsung memutuskan berhenti.
Pak sopir membawa koper saya, sementara saya membawa tas laptop. Kemudian saya mengambil sejumlah uang untuk membayar taksi dan parkir. “Banyak sekali, Bu?” “Tidak apa-apa Pak, sekalian membayar parkir. Saya berterima kasih untuk bantuan Bapak.” “Wah, terima kasih banyak, Bu.”
Di sepanjang jalan, tidak henti-hentinya saya berkata, “Ini namanya service excellence.” Pak sopir menjawab, “Biasa saja Bu, sudah tugas saya.” Tidak berapa lama kami pun sampai di lobi perkantoran. Saya tiba 40 menit menjelang acara dimulai. Saya sangat lega datang tidak terlambat.
“Biasa saja Bu, sudah tugas saya,” adalah perkataan pak sopir yang membekas di benak saya. Benarkah itu tugasnya? Kalau merujuk Standard Operating Procedure (SOP) sopir taksi, tentu jawabannya “tidak”. Tetapi pak sopir rela melakukannya. Seandainya saya tidak minta turun, tarif yang dia dapatkan akan lebih banyak. Atau kalau pun saya memilih berhenti, bukan tugasnya mengantarkan saya. Jadi, semuanya adalah pilihan, dan pak sopir memilih mengantar saya sekaligus membawakan koper. Bagi saya itu adalah layanan yang sangat prima, bahkan sudah sampai pada level tertinggi, yaitu unbelievable, wow. Memberikan layanan kepada pelanggan yang membuat pelanggan sangat puas dan tetap setia kepada pemberi layanan.
Seringkali kita berpikir bahwa layanan yang “wow” harus dengan mengeluarkan banyak uang, tetapi sopir taksi tadi mengajarkan bahwa tanpa uang pun kita tetap bisa memberikan layanan prima.
Mari berdiskusi, apa yang membuat pak sopir tadi mau melakukannya? Saya menduga dorongan pertamanya bukan uang, karena jelas-jelas argo taksi sudah berhenti. Ketika saya memberikan bayaran yang lebih besar daripada yang seharusnya dia terima pun, itu tidak bisa diprediksinya.
Menurut saya, pak sopir terdorong ingin membantu pelanggan dan menjadi bagian pemecah masalah. Itulah yang membuatnya ikhlas melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan tugasnya. Kalau pun dia tidak mengantar saya, itu bukan sebuah kesalahan dalam SOP sebagai sopir. Pak sopir memberi lebih kepada pelanggan dengan tenaga dan kecermatannya menilai kebutuhan saya. Hasilnya? Saya sangat puas, senang, dan kisahnya selalu saya ceritakan di kelas pelatihan.
Bagaimana dengan kita, apakah selama ini dalam bekerja kita masih berhitung untung rugi? Ini tugasku itu tugasmu, sementara ada pelanggan yang membutuhkan bantuan kita. Apakah kita sudah menjadi bagian dari pemecah masalah atau sebaliknya? Jawabannya ada di hati kita! (Rum Martani)