Mewariskan Ilmu
Mendaftarkan anak ke Taman Kanak-Kanak (TK) ternyata merupakan pengalaman yang mencemaskan saya, yaitu cemas kalau-kalau anak kami ditolak. Pertama, kami terlambat beberapa bulan sebab kami baru pindah kota. Kedua, ada komentar dari petugas tata usaha di TK itu. Dengan penuh percaya diri ia berkata, “Anak Bapak memang berumur lima tahun, tetapi dia belum pernah TK Kelas Kecil. Mana bisa dia ikut Kelas TK Besar? Murid Kelas TK Kecil kami sudah bisa berhitung sampai seratus! Bisa menulis! Hafal lagu Indonesia Raya!”
Saya terpaku. Jangankan hafal, mendengar lagu Indonesia Raya pun anak kami belum pernah. Lagu yang dia hafal hanya “Bulung Kutilang belnyanyi, belciul-ciul cepanjang pagi”.
Kami pun tidak pernah mengajar anak kami menulis dan berhitung. Saya dan istri tamatan Sekolah Pedagogi di Driebergen, Belanda, dan kami berprinsip bahwa seorang anak tidak perlu belajar menulis dan berhitung di rumah.
Menciptakan Kesempatan
Kalau begitu, apa yang kami ajarkan? Bermain! Anak kami diberi balok-balok kecil dari kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran. Berjam-jam ia duduk seorang diri tenggelam dalam keasyikan menyusun, menyelaraskan dan menata balok-balok itu. Dengan begitu, kami menciptakan kesempatan bagi dia untuk mengembangkan imajinasi, kreativitas dan logika.
Selain itu, tiap hari kami bercerita. Kami bacakan teks buku-buku bergambar. Atau teks itu kami ubah dan tambah. Demikian juga tiap gambar yang menarik dari majalah atau iklan koran kami manfaatkan sebagai alat peraga untuk sebuah cerita atau tanya jawab. Dengan begitu, kami melatih dia untuk berkonsentrasi, bervokabulari dan berimajinasi.
Selanjutnya kami juga mendidik mereka dengan memberi tugas rutin. Meskipun ada pembantu, namun tiap hari kedua anak kami bertugas menata meja, merapikan tempat tidur, menyemir sepatu, dan lainnya. Dengan begitu kami mendidik mereka untuk berjiwa mandiri, mampu memikul sebuah tanggung jawab dan berpartisipasi.
Jadi, yang kami berikan kepada kedua anak ini bukanlah pengetahuan atau kepandaian, melainkan kemampuan untuk mencari atau mengembangkan kepandaian.
Bekal Dasar
Orangtua ingin anaknya pandai di sekolah, sebab itu mereka mengajarkan anaknya menulis dan berhitung sebelum anak bersekolah. Namun sebenarnya, yang lebih perlu adalah membekali anak dengan kemampuan dasariah, misalnya konsentrasi, imajinasi dan vokabulari.
Kemampuan berkonsentrasi, misalnya, diperlukan setiap orang seumur hidup. Banyak mahasiswa mengalami kesulitan belajar bukan karena kurang ceras, melainkan karena kurang mampu berkonsentrasi. Misalnya baru saja membaca sepuluh halaman namun pkiran sudah melayang atau sudah ingin mengobrol. Sejak dini orangtua bisa menolong anak untuk berkonsentrasi. Anak usia dua tahun sudah bisa dibiasakan berkonsentrasi selama lima menit dengan sebuah cerita.
Semua orangtua ingin agar anaknya pandai supaya bisa merasa bangga atas anaknya. Kitab Amsal yang memuat kumpulan aksioma (kebenaran umum yang dirumuskan secara singkat) sastra Mesir dan Yahudi dari rentang waktu dua atau tiga abad berpokok tentang menjadi pandai dan bijak. Sebuah ayat berbunyi, “Anak yang bijak menggembirakan ayahnya, tetapi orang yang bebal menghina ibunya” (Ams. 15:20). Di sepanjang Kitab Amsal terdapat aksioma ini: anak bodoh dan bebal maka orangtua berduka, anak bijak dan pandai maka orangtua bersuka. Tugas orangtua adalah memungkinkan anak menjadi pandai.
Namun, menjadikan anak pandai bukan berarti memberi ilmu, melainkan memberi dasar agar anak itu sendiri menggali ilmunya. Ibarat sebuah rumah peran orangtua adalah meletakkan fondasi, sedangkan rumah itu sendiri dibangun oleh anak yang bersangkutan.
Ini juga berarti bahwa anak tidak dengan sendirinya harus berprofesi sama seperti orangtuanya. Tiap anak merupakan individu yang unik dengan bakat, kecerdasan, dan orientasi yang berbeda. Bisa jadi anak memilih profesi kita, namun bisa jadi ia punya minat yang sama sekali beda. Ayahnya dokter bedah, si anak masuk sekolah seni rupa. Ayahnya pengusaha besar, si anak menjadi dosen antropologi dengan gaji hampir sama seperti sopir ayahnya. Atau ayahnya pengantar surat, si anak menjadi pilot.
Yang kita wariskan adalah fondasinya, bukan bangunannya. Kita bangga kalau fondasi yang kita letakkan itu kokoh sehingga anak berhasil membangun sesuatu yang berguna. Kebanggaan orangtua adalah kalau pewarisannya bermanfaat.
Anekdot
Bicara soal bangga, ini sebuah anekdot. Di depan kampus UI ada seorang pengemis tua yang setiap hari menyapa dengan senyuman. Sebetulnya secara fisik ia masih kuat untuk bekerja. Pada suatu hari seorang mahasiswa bercakap-cakap dengan dia.
+ Bapak sudah berapa tahun ada di kampus ini?
- Lha iya, sudah lama toh. Tahun depan genep 30 tahun.
+ Kenapa Bapak tidak bekerja?
- Lha, wong ini pekerjaan saya kok! Mau kerja apa lagi toh?
+ Apakah penghasilan mengemis ini cukup?
- Lha iya lumayan toh. Buktinya saya bisa membesarkan tiga orang putra! Sekarang tiga-tiganya itu mantep! Tiga-tiganya sudah jadi!
+ Wah, Bapak tampaknya bangga atas mereka.
- Lha iya, seneng banget toh! Putra yang sulung ada di ITB Bandung, putra tengah di IPB Bogor dan putra bungsu di Gajah Mada Yogyakarta!
+ Wah-wah! Hebat sekali! Apakah mereka mahasiswa?
- Lha, bukan toh!
+ Wah! Apakah mereka sudah jadi dosen?
- Bukan!
+ Wah! Apakah mereka sudah jadi dekan?
- Bukan! Sampeyan ini pegimana toh! Mereka jadi pengemis! Pengemis di depan kampus! Macam saya ini toh!
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia