Sydney. Sore hari. Bersama anak bungsu saya, Yosafat Pranata, saya sedang berada di sebuah balkon sebuah apartemen di salah satu pencakar langit di kota paling hingar bingar di Australia ini. Anak saya sibuk memotret pemandangan sore yang indah. Dia memang penggemar fotografi.
“Pa, seandainya kita tinggal di sana,” ujarnya sambil menunjuk sebuah gedung yang lebih tinggi lagi di depan kami, “Asyik juga ya. Saya bisa memotret Sydney dari ketinggian.”
Saya melihat sebuah aparteman yang lebih mewah dari yang kami tinggali. Keesokan harinya, seorang sahabat berkata, “Pak malam ini kami pindahkan Bapak di apartemen lain. Kemarin fully booked.”
Setelah kami pindah dan membuka balkon untuk menikmati pemandangan sore hari kami sungguh terkejut. Saya dan Yosa sama-sama saling pandang. Mengapa? Sekarang kami tinggal di apartemen yang kemarin ditunjuk Yosa.
Kebetulan? Tidak! Bagi saya pribadi, itu Tuhan yang atur.
Grace and Mercy
Bagi saya itu ‘grace’. We receive something we don’t deserve. Dari segi finansial, kami tidak terbiasa untuk mengeluarkan uang untuk apartemen semewah itu. Sebelumnya, kami menolak mendapat tawaran untuk menginap di sebuah penthouse dari seorang sahabat yang pernah belajar dan tinggal di Amerika. Saya dan isteri sepakat untuk menolak dengan halus karena oleh pengundang, kami sudah disediakan hotel yang cukup layak untuk kami tinggali.
Dalam setiap penerbangan, saya selalu memilih kelas ekonomi. Itulah yang paling masuk akal untuk ukuran kantong saya. Namun, dalam beberapa kesempatan, ternyata kami sekeluarga di-up grade ke kelas bisnis, bahkan dalam penerbangan yang lebih dari 20 jam. Bagi kami ini benar-benar kasih karunia, sehingga ketika sampai di tempat tujuan, saya bisa menyampaikan Firman Tuhan dalam kondisi yang fresh tanpa mengalami kelelahan yang berarti.
Bagaimana dengan ‘mercy’? We don’t receive what we deserve. Ketika pertama kali terbang ke Australia, isteri saya membawa makanan yang berasal dari daging. Makanan kami dibuang di bandara. “Anda seharusnya kami denda karena melanggar peraturan imigrasi,” ujar petugas dengan tegas, “namun karena Anda baru pertama kali ini datang, kami mengampuni Anda.”
Sejak saat itu, karena sering sekali terbang ke Aussie, saya selalu mengingat pengampunan petugas bandara itu. Meskipun pengampunan itu begitu melekat di benak saya, ada pengampunan lain yang jauh lebih penting.
Sebagai orang berdosa, tujuan akhir kami neraka. Namun karena pengorbanan Kristus, kami tidak menerima hukuman semacam itu. Begitu kami percaya dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat, kami diselamatkan.
Dipisahkan untuk Diselamatkan
Saat masih lajang dulu, dalam suatu kesempatan, saya bersama seorang sahabat, hendak melayani di sebuah kota kecil. Kami menunggu bus cukup lama. Setiap kali ada bus yang lewat, selalu penuh. Bahkan, saat kami melambaikan tangan sampai hampir ke tengah jalan pun, tidak ada bus yang mau berhenti untuk mengangkut kami.
Ternyata persaingan bus antarakota begitu ketat sehingga mereka saling berkejaran satu sama lain. Akibatnya, selalu saja ada penumpang yang ‘dikorbankan’. Mengapa kata dikorbankan saya beri tanda kutip? Karena kisahnya berbeda dari yang kami alami.
Setelah sekian lama tidak mendapat angkutan, ada bus yang berbaik hati berhenti dan mengangkut kami. Di tengah jalan, ada kemacetan yang luar biasa. Saat kami melongok, apa yang terjadi? Ternyata bus terakhir yang tidak mau berhenti ketika kami stop menabrak pohon besar. Bus ringsek. Seandainya kami ada di bus itu, apa yang terjadi?
Tidak terjadi apa-apa! Kok bisa? Bisa jadi skenarionya begini. Karena berhenti untuk menaikkan kami, maka mereka tidak berpapasan dengan bus lain di tempat itu sehingga terhindar dari kecelakaan. Mengapa bisa begitu? Karena ada jeda beberapa menit sehingga bus lawan yang mengakibatkan kecelakaan itu sudah melewati tikungan maut itu.
Memang semua itu hanya spekulasi dan berandai-andai. Yang benar adalah bahwa Tuhan meluputkan kami dari kecelakaan itu.
“Gosyen” dari Tuhan
Tanpa kita sadari, sering kali Tuhan menempatkan kita di tempat dan sikon tertentu justru untuk menunjukkan kasih-Nya. Suatu kali saya mendapat undangan untuk berkhotbah di Kanada. Sampai hari-hari terakhir, visa saya belum keluar. Ternyata ada masalah intern di kantor kedutaan.
Saat visa saya keluar, waktu sudah mepet sekali. Saya sulit mendapatkan tiket Jakarta-Kanada. Seorang sahabat, manajer sebuah usaha travel, membantu saya. Saya mendapatkan maskapai yang terbayang pun tidak. Maskapai dari negara kecil yang tidak pernah saya perhitungkan.
Ternyata saat saya check in, kami sekeluarga dinaikkan ke kelas bisnis. Pesawat yang kami naiki pun bagus. Kami sampai tempat tujuan dengan selamat dan tentu saja lebih segar.
Pada kesempatan lain, saya kehilangan paspor saat pergi sendirian ke luar negeri. Saya telepon sahabat yang menjemput saya di bandara dan memintanya untuk memeriksa mobilnya apakah paspor saya terjatuh. Ternyata tidak ada.
Saya memutuskan untuk berhenti mencari dan berdoa. Tuhan menuntun saya kembali ke hotel yang baru saja saya tinggalkan. Ternyata paspor saya terselip di antara matras dan sandaran ranjang. Saya tidak habis pikir bagaimana paspor itu bisa nyelip ke sana. Bisa jadi waktu saya menaruh jaket winter saya, paspor yang ada di saku saya masuk ke sana.
Di dalam hidup ini, berapa banyak mukjizat yang Anda alami? Jika Anda sungguh-sungguh merenungkan, pasti banyak sekali. Bagi saya pribadi, mukjizat terbesar dalam hidup saya adalah ini: Bukan saya yang mencari Tuhan, tetapi Dialah yang mencari saya. Bagaimana mungkin Tuhan yang Mahabesar itu mencari dan menyelamatkan saya yang begitu kecil ini di tengah alam semesta yang begitu luas. Itulah mukjizat.
Jika saya hari ini masih bisa menulis naskah perenungan ini, itu juga mukjizat karena begitu banyak orang yang meskipun punya talenta menulis, tetapi tidak sempat atau tidak mau menulis bagi Engkau dan sesama. ***