Natal dan ibu, bukan sekadar peristiwa kelahiran Juruselamat, tetapi juga seorang perempuan yang menjadi ibu. Maria dan semua perempuan yang menjadi ibu bukan sekadar status dan masalah gender, tetapi yang lebih substansial, menjadi ibu adalah perempuan yang mengalami karya besar Allah. Sebuah relasi baru, kehidupan yang penuh tantangan juga harapan.
Ibu merupakan sosok yang selalu ada bagi anak-anaknya. Bahkan sejak dalam kandungan, ibu memberi perhatian agar anak yang dikandungnya lahir dengan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun. Bahkan, ibu yang tidak memiliki uang dan harta berlebih, tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Ia rela menderita demi sang buah hati. Bahkan ketika sang anak mendukakan hati, ibu tetap mendoakan yang terbaik bagi anaknya. Ibu selalu ada untuk anak-anaknya hingga akhir hayatnya.
Peran dan Pengaruh Ibu

Secara Teologis, dinyatakan oleh Pdt. Sarah M.Y. Tahitu-Hengkesa, S.Ag., M.Pd.K, ibu berperan penting sebagaimana di dalam Alkitab. “Menjadi ibu dianggap sebagai berkat. Alkitab menyebut Hawa sebagai ibu dari segala makhluk hidup. Kemampuan untuk mengandung dan melahirkan menjadi kekuatan tersendiri bagi perempuan,” katanya.
Lebih lanjut, Sarah menyatakan, Kitab Yesaya 50 melukiskan Allah sebagai satu figur ibu, juga dalam Mazmur 131:2. Dalam Perjanjian Baru (PB), Paulus juga mengungkapkan bahwa ia bagai seorang ibu yang mengasuh dan merawati anaknya (1Tes. 2:7).

Dalam proses tumbuh kembang anak, ibu memiliki peran yang sangat penting, tanpa mengecualikan peran ayah, tentunya. Menurut Dr. Esther Widhi Andangsari, M.Si, Psi., dalam konsep psikologi, ibu diidentifikasikan sebagai sumber afeksi dan nurturing. Perkembangan anak-anak dalam tahapannya, membutuhkan afeksi dan nurturing dari ibu agar mereka dapat bertumbuh sehat secara mental.
“Ibu sebagai caregiver menjadi sentral karena kebutuhan attachment pada anak terutama lima tahun pertama kehidupannya. Attachment antara Ibu dan anak yang secure akan membuat anak tumbuh dewasa dengan percaya diri, memiliki relasi yang hangat dengan orang lain, dan emosi yang positif,” jelas Kepala Laboratorium Psikologi Universitas Bina Nusantara ini.
Anak-anak yang kehilangan figur ibu akan kehilangan attachment, afeksi, dan perhatian yang menjadi kebutuhan dasar mereka. Bila tidak terpenuhi, mereka akan terus mencari hingga dewasa. Ada semacam ketimpangan. Dalam hal ini, peran ayah dan orang dewasa lainnya yang dapat memberikan kebutuhan tersebut menjadi penting.
Transmiter Iman
Menurut Pdt. Sarah, Yesus sangat menghargai perempuan dan memaknai ibu dalam relasi yang baru, yakni ibu dan saudara bukan hanya dalam hubungan darah dan daging, tetapi merupakan suatu bagain dari keluarga atas dasar iman.
“Dalam PB, ibu diperkenalkan sebagai yang mendidik dan mengajar di dalam iman. Mulai dari ibu Yohanes Pembaptis sampai ibu Timotius. Peranan ibu kemudian dijelaskan dalam hubungan ibu dan anak-anaknya. Pada perlindungan hak-hak anak-anaknya menyangkut masa depan anak, membesarkan anak-anaknya dengan perhatian khusus,” tutur Ketua Majelis Jemaat GPIB Jemaat Gibeon Pesanggrahan Bintaro periode 2014-2018 ini.
Pdt. Sarah menambahkan, perempuan dalam fungsi sebagai ibu berkontribusi positif dalam mentransmisikan iman sebagai warisan dalam hidup orang percaya melalui peran ibu yang merawati serta menumbuhkembangkan iman secara rohani. “Selain itu, juga berdampak pada pemeliharaan menyangkut melatih anak-anaknya atau generasi baru melaksanakan misi Allah menjadi jemaat missioner yang kesukaannya melakukan misi Allah di tengah-tengah dunia dengan konteks yang menderita, miskin, dan sengsara,” jelasnya.
Konsep ibu yang dihubungkan dengan keselamatan, dalam pandangan Sarah, mendorong Gereja melakukan gerak panggilan pengutusannya menjadi Gereja yang berdampak sosial yang bukan sekadar merawati dirinya sendiri. “Dengan peran ibu maka keluarga menyangkut suami dan anak-anak dikuatkan untuk bersama-sama menjadi jemaat yang missioner,” tandasnya.
Memandirikan Anak
Dalam perkembangannya, relasi ibu dan anak kadang juga mengalami pasang surut. Ada anak yang menganggap ibunya cerewet, banyak mengatur, dsb. Bagi Esther, itu hal yang wajar. Begitu pula bila seorang ibu ingin mengatur anaknya.
Bimbingan dan pendidikan bagi anak-anak, menurut Pdt. Sarah, bertujuan agar anak menemukan minat, bakat, dan potensinya, serta melatih anak berkembang menemukan kepenuhan hidupnya. “Yang penting, anak merasa senang memahami bagaimana ia dipersiapkan untuk menyatakan kasih Allah melalui bakat dan minatnya. Ruang itu dapat membuat anak memuliakan nama Tuhan dengan senang atau happy. Respek dan rasa hormat anak pada orangtua akhirnya menjadi bonus bagi orangtua yang sungguh-sungguh mendedikasikan anaknya di jalan Tuhan,” tandas Master Manajemen Pendidikan Kristen ini.
Sejalan dengan hal itu, Esther menyebutkan tiga hal yang perlu dilakukan seorang ibu. Pertama, ibu menjadi role model sehingga anak mengikuti teladan dan bukan sekadar ceramah panjang lebar. Kedua, komunikasi yang hangat antar ibu dan anak harus disengaja dan terpola dilakukan sehingga tanpa ibu harus banyak berkomentar, anak sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ketiga, ibu perlu percaya pada anak dan memandirikan anak sehingga anak tidak terus-menerus diberi “instruksi”.
“Berikan kesabaran dan ruang untuk anak belajar mengubah perilaku dan mandiri, termasuk ikhlas anak melakukan kesalahan dan memperbaikinya dengan didampingi oleh ibu. Masalahnya, sering kali ibu kurang sabar terhadap kesalahan anak. Padahal, tidak ada anak yang sempurna, demikian juga tidak ada ibu yang sempurna. Yang ada adalah anak dan ibu yang melakukan peran masing-masing dengan baik, saling mengasihi, saling membutuhkan, dan saling memperbaiki kesalahan,” jelas doktor psikologi dari Universitas Padjajaran ini.
Natal & Ibu
Peristiwa Natal di Bethlehem mengingatkan kasih dan pengorbanan seorang perawan yang menjadi ibu bagi Kristus Sang Juruselamat. “Natal adalah kelahiran. Perempuan menjadi ibu, secara sosio-teologis adalah proses menjadi ibu yang melahirkan kehidupan. Kehidupan yang melahirkan kemanusiaan adalah kehidupan yang menyelamatkan. Kehidupan yang membawa sukacita pengharapan tentang Mesias, Anak Allah itu telah lahir di antara kita,” tutur Pdt. Sarah.
Menurut Sarah, ketika Yohanes Calvin berbicara tentang konsep gereja yang kelihatan, ia menggambarkan bahwa gereja adalah “Ibu”. Artinya, nama ibu memberikan manfaat yang besar. “Ibu melahirkan, menyusui, merawati mengasuh, mendidik, membimbing dan memelihara kehidupan dan menjamin kelangsungan hidup anak-anaknya. Artinya, memang hanya perempuan atau ibu yang secara khusus mempunyai rahim dan dimungkinkan untuk dapat melahirkan, menyusui, dan merawati kelangsungan kehidupan,” jelasnya.
Spirit Natal, lanjut Sarah, menggambarkan ibu yang melahirkan kasih dan pemberian diri yang berdampak luas. Peka terhadap keadaan sosial dan memiliki kesediaan mengambil risiko moral demi perubahan sosial yang diperlukan. “Ibu yang mau mengembangkan solidaritas melalui pengorbanan kepada rakyat yang tertindas baik untuk komunitas bangsanya maupun bangsa yang berbeda. Ibu yang bertumbuh dalam dirinya untuk melahirkan kehidupan yang penuh kasih dan bela rasa pada yang menderita,” tandasnya.
Kekuatan Cinta
Seorang ibu dituntut banyak memberikan perhatian pada hal-hal yang beragam. Mulai dari urusan dapur/makanan, keuangan, pendidikan anak, rumah, kesehatan, motivator di masa sulit, urusan fashion anak-anaknya, dan sebagainya. Belum lagi kalau ibu juga harus bekerja. Meskipun ibu tidak menuntut balas, menurut Esther, anak patut memberikan apresiasi kepada ibu dengan mencintai ibu apa adanya. “Ibu, tidak butuh harta atau balasan material. Ibu butuh dicintai. Ketika seorang anak mencintai ibunya, ia akan berdoa untuk kesehatan ibunya; belajar dengan tekun demi tanggung jawab, dan sebagainya,” ujar Esther.
Dengan kekuatan cintanya, seorang ibu diharapkan mampu menguatkan semangat yang patah dan menegakkan buluh yang terkulai dalam kehidupan anak-anaknya. Untuk itu, kata Sarah, seorang ibu perlu mengasihi dan memiliki pengenalan akan Allah. Hal ini penting untuk mendorong tiap-tiap anggota keluarganya belajar bergantung, bersandar, dan berpengharapan kepada Allah yang adalah Sang Masa Depan.
Jika ibu memiliki pemahaman yang benar tentang Allah Sang Penebus, ia dapat menempatkan dirinya sebagai orang yang ditebus dan diselamatkan oleh Allah. “Ia pun akan menerapkan kasih dan pengampunan bagi dirinya dan berdampak juga bagi semua orang di sekitarnya. Juga konsep tentang Allah Eben Haezer atau Allah Sang Imanuel akan sangat menolong ibu untuk berperan dan berfungsi dengan sifat kepedulian, kerahiman, dan rela berkorban dalam kasih yang menyelamatkan. Selain itu, ibu juga bermitra dengan suami dan bekerja sama dengan anak-anak dalam menyaksikan Kerajaan Allah,” jelas Sarah. (Gie)
Sumber: Majalah INSPIRASI