Memasuki bulan Desember, gemerlap lampu natal mulai tampak menghiasi pusat-pusat perbelanjaan. Gereja pun mulai bersolek. Mengecat dinding, memasang dekorasi, interior dan eksterior. Agenda pelayanan, latihan, dengan anggaran untuk perlengkapan, konsumsi, hingga tata cahaya panggung tercatat rinci. Tak lupa disisihkan sedikit untuk “bakti sosial” ke panti asuhan, panti werda, atau anak jalanan. Untuk yang terakhir ini seolah menjadi objek pelengkap sebagai karya sosial gereja.
Apa yangterjadi setelah itu semua? Kehidupan kembali normal. Beberapa hari setelah dentang tahun baru bertalu, lampu-lampu mulai dimatikan. Dekorasi dilepas danpohon natal diturunkan. Ornamen berharga akan kembali masuk kotak. Bagaimanadengan “aksi sosial”? Mungkin ada yang memikirkan tindak lanjutnya, tetapi sebagian lagi mati suri, bagai kembang layu sebelum mekar.
Gereja memang memiliki pelayanan diakonia. Tetapi, seperti dikritisi Pdt. Josef P. Widyatmadja dalam bukunya Yesus & Wong Cilik, banyak gereja di kota besar tidak memiliki pelayanan diakonia yang membebaskan.
Pesan pentingdalam narasi Natal adalah solidaritas Allah atas penderitaan manusia. Natal mengajak kita kembali merenungkan Allah yang terlibat dalam realitas hidup manusia. Pertanyaannya,”Mengapa Allah harus hadir, hidup, dan terlibat dalam keringkihan dan kerapuhan realitas manusia yang miskin dan sederhana?”
Kelahiran Yesus adalah representasi keterkoyakan Allah yang tak bisa diam melihat penderitaan manusia. Meminjam pemikiran Emmanuel Levinas, penderitaan manusia adalah penampakan wajah (baca: realitas) manusia yang membuat Allah bersikap menyelamatkannya, memperjuangkan kehidupan, dan menegakkan keadilan.
Semoga solidaritas kita mampu menjadi bahasa kehidupan yang membawa pembaruan dan pemberdayaan padaNatal ini dan di tahun yang baru. (Gie)