Ziarah Batin Lewat Kepedulian Sosial
Memasuki bulan Desember, biasanya gemerlap lampu Natal mulai tampak menghiasi pusat-pusat perbelanjaan. Gereja pun mulai bersolek. Mengecat dinding, memasang dekorasi, interior dan eksterior. Agenda pelayanan pun makin padat. Namun, Natal tahun ini sangat berbeda.
Pandemi Covid-19 telah membuyarkan semua itu. Sejumlah Negara malah lockdown. Situasi ini tentu membuat kelompok marjinal makin rentan. Tentu saja ada aksi-aksi sosial ke panti asuhan, panti werda, anak jalanan, dan berbagai kelompok rentan lainnya. Apakah itu cukup?
Gereja memang memiliki pelayanan diakonia. Tetapi, seperti dikritisi Pdt. Josef P. Widyatmadja dalam bukunya Yesus & Wong Cilik, banyak gereja di kota besar tidak memiliki pelayanan diakonia yang membebaskan. Dalam masa pandemi, khususnya pada masa Adven dan Natal ini, gereja dapat semakin jernih melakukan refleksi.
Solidaritas Allah atas Penderitaan
Pesan penting dalam narasi Natal adalah solidaritas Allah atas penderitaan manusia. Natal mengajak kita kembali merenungkan Allah yang terlibat dalam realitas hidup manusia. Pertanyaannya,”Mengapa Allah harus hadir, hidup, dan terlibat dalam keringkihan dan kerapuhan realitas manusia yang miskin dan sederhana?”
Kelahiran Yesus adalah representasi keterkoyakan Allah yang tak bisa diam melihat penderitaan manusia. Meminjam pemikiran Emmanuel Levinas, penderitaan manusia adalah penampakan wajah (baca: realitas) manusia yang membuat Allah bersikap menyelamatkannya, memperjuangkan kehidupan, dan menegakkan keadilan.
Bagaimana agar solidaritas menjadi bahasa perubahan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini? Secara pribadi, bagaimana solidaritas ini juga bisa menjadi ziarah batin yang memberdayakan bukan hanya demi kesejahteraan duniawi, tetapi juga dalam iman kita?
Semoga solidaritas kita menjadi bahasa kehidupan yang membawa pembaruan dan pemberdayaan pada Natal ini dan di tahun yang baru. (Gie)