Prodi Magister dan Doktor Hukum Universitas Indonesia
Setelah pasukan AS ditarik dari Afghanistan, Taliban dengan mudahnya kembali menguasai Afganistan dan secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Koalisis Islam Afghanistan alias Islamic Emirates of Afghanistan. Banyak anggapan bahwa keberhasilan Taliban kembali berkuasai berkuasia akan berdampak bagi Indonesia. Para pendukung Taliban di Indonesia, menganggap Taliban sebagai simbol perlawanan terhadap negara barat.
Mengawali talkshow yang dipandu oleh Dr. Diana Napitupuli dengan tema ‘Taliban, Radikalisme dan Dampaknya Bagi Generasi Muda Indonesia’ Prof Dr. John Pieris SH., MH., MS., selaku Keprodi Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) dalam sambutannya mengatakan bahwa kondisi global akan sangat terpengaruh atas kembali berkuasanya Taliban di Afganistan. Menurutnya, Taliban melahirkan pemahaman radikalisme baik dulu ketika awalnya dibentuk, maupun sekarang ketika kembali berkuasa atas Afganistan.
“Saya merasa pemahaman radikal ini merupakan konflik peradaban yang sangat serius. Dampak paling nyata bagi Indonesia, khususnya pada generasi muda, semakain tergerusnya pemahaman Pancasila sebagai dasar negara,” jelas John diawal talkshow yang diselanggarakan Prodi Magister dan Doktor Ilmu Hukum UKI dan bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Strategis.
John Pieris mencontohkan kelompok radikal di Poso, Sulawesi Tengah terihlami perlawanan Taliban diawal terbentuknya (tahun 1992). “Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan untuk disusupi dengan pemahaman radikal. Oleh sebab itu, kita tidak menghendaki fundamentalis dengan pandangan agama, mengubah pemahaman Pancasila yang akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa dalam generasi muda Indonesia,” ujar John Pieris selaku Kaprodi Doktor Hukum UKI secara daring, (25/9).
Alto Labetubun, ST., MIS sebagai narasumber pertama khawatir, kesuksesan Taliban mengobarkan semangat kelompok radikal di Indonesia untuk mewujudkan negara khilafah. Strategi ini akan diamplifikasi oleh kelompok-kelompok, seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, yang selama ini mengkampanyekan penggerusan rasa cinta tanah air.
“Keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan perlu dijadikan pelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa penanaman rasa cinta Tanah Air adalah fondasi utama perekat bangsa. Ini satu-satunya cara untuk menjaga Indonesia agar tidak terfragmentasi dan tidak gampang dihancurkan oleh kelompok-kelompok perusak persatuan dan kesatuan bangsa, seperti Taliban di Afghanistan,” jelas Alto Labetubun analis konflik dan keamanan.
Selama 10 tahun di Afganistan hingga tahun 2013, selama invasi militer di Amerika di Afghanistan, Taliban tidak bubar. Taliban tetap bergerilya hingga akhirnya Amerika pergi meninggalkan Afghanistan bulan lalu. Impian Taliban tetap terjaga untuk membentuk negara Islam di Afghanistan.
“Taliban yang ada saat ini sudah merubah citra dirinya. Taliban setelah menduduki Afganistan menjalin hubungan diplomasi dengan berbagai negara. Namun demikian, saya menyakini bahwa Neo Taliban tetap dengan paradigmanya. Terhadap dunia luar, ia akan mengenakan diplomasi yang baik. Di dalam negeri sendiri, tetap dengan pandangan lamanya. Negara dengan hukum Islam yang ketat.”
Kembali berkuasanya Taliban di Afganistan menurut Aslah Bahrawi, SS., pastinya memiliki pengaruh bagi pergerakan radilakisme di Indonesia. “Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari kelonggaran yang diberikan bagi warga Indonesia untuk berjuang bersama Taliban di Afganistan. Ketika mereka kembali ke Indonesia, mereka-mereka inilah yang akhirnya berjuang untuk menerapkan pemahaman khilafah di Indonesia dengan serangakian aksi teror bom di berbagai daerah,”jelas Direktur Jaringan Moderat Indonesia ini.
Ia pun mengakui bahwa isu radikalisme yang berkembang di negeri ini sudah terlalu banyak. Yang dikhawatirkan adalah narasi-narasi yang dikembangkan untuk melawan imperialisme barat. Selain itu, dibeberapa daerah sudah diterapkan Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan Islam.
Menanggapi situasi ini, Khoirul Anwar, M.Ag., mengecam politisasi agama yang berkembang di Indonesia. Ia menyerukan perlawanan terhadap Perda yang bertentangan dengan paham Pancasila sebagai dasar negara.
“Agama dan politik memang tidak boleh saling terpisah. Hanya saja, satu dan yang lain tidak boleh saling menunggangi. Di berbagai kesempatan mereka mengatakan cinta NKRI. Tapi mereka mengharamkan demokrasi, Pancasila dan lainnya. Ini yang mesti diwaspadai terus.”
Ada beberapa orang dan kelompok yang pemahaman Islamnya, yang kemudian disalah gunakan untuk melakukan tindakan teror untuk menekan agar mengikuti paham Islamnya. Dalam pemahaman tersebut, ada yang menganggap bahwa non muslim itu adalah musuh.