Ujian Promosi Doktor dr. Rospita Adelina Siregar, M.H.Kes
Dosen Fakultus Hukum Universitas Kristen Indonesia
Bantuan pengakhiran hidup dalam dunia kedokteran di Indonesia, tidak berlaku dan bertentangan dengan hukum atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini ditegaskan oleh Dr.dr. Rospita Adelina Siregar, MH.Kes., ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Pengaturan Bantuan Pengakhiran Kehidupan di Indonesia Dikaitan Dengan Pandangan Hidup Pancasila’. Disertasi yang dipertahankan dr.Rospita Adelina Siregar merupakan hasil penelitiannya terhadap pasien fase terminal sudah dilakukan segala upaya pengobatan namun tidak ada kesembuhan, masih dalam keadaan sadar, menderita sakit yang teramat sangat, meminta bantuan pengakhiran hidup oleh dokter yang merawatnya.
“Bantuan pengakhiran kehidupan di Indonesia, atas permintaan pasien maupun keluarga pasien dan dilakukan oleh orang lain, termasuk bila dilakukan oleh dokter, dikategorikan sebagai tindakan pembunuhan/ kriminal. Dalam Pasal 344 KUHPidana tindakan ini dijelaskan merupakan tindak kejahatan, meskipun atas permintaan yang sungguh-sungguh dari orang yang menginginkan kehidupannya diakhiri,” jelas dr. Rospita Adelina Siregar dalam Sidang Promosi Doktor Hukum yang dilangsungkan di Universitas Borobudur, Jakarta (25/2).
Dalam Sidang Promosi Doktor Hukum yang berlangsung terbuka dan secara virtual, dr. Rospita Adelina Siregar menegaskan, bahwa pandangan hidup Pancasila bertentangan dengan penerapan hak mati, oleh karena adanya asas kemanusiaan dikaitakan dengan asas KeTuhanan Yang Maha Esa. Sehingga waktu tibanya hari kematiaan merupakan kewenangan penuh Tuhan. Kelima sila dalam Pancasila, dijadikan sebagai dasar pemikiran untuk bernegara dan berbangsa, termasuk dasar pemikiran untuk pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam bermasyarakat. Pancasila sebagai dasar hukum Indonesia, tidak mendukung dibolehkannya tindakan dokter dalam memberi bantuan pengakhiran kehidupan.
“Jika dokter memberi bantuan pengakhiran kehidupan atas permintaan pasien yang sungguh-sungguh, maka dilanggar nilai menghargai sesama manusia,” terang dr. Rospita Adelina Siregar yang berprofesi sebagai dokter juga dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia.
Dari sudut pandang kemanusiaan dan agama, dalam mempertahankan disertasinya, dr. Rospita Adelina Siregar mengutip pandangan Sandrayati Moniaga (ketua bidang eksternal Komnas HAM). Sandrayati menyatakan Indonesia tidak mengenal hak mati. Tindakan Euthanasia atas dasar masalah ekonomi tidak boleh dijadikan alasan karena negara harus hadir dalam segala persoalan warganya.
Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indoneia) menyatakan Tuhan tidak menjanjikan kesengsaraan umatnya, tetapi kehidupan yang sempurna. Dengan demikian Euthansia aktif adalah sebuah tindakan pembunuhan yang melanggar perintah keenam Hukum Taurat Tuhan. Demikian juga dengan Abdul Mu’ti, selaku Sekretaris Umum PP Muhammadyah mengatakan, bahwa Euthanasia aktif ataupun pasif tidak diperolehkan dalam ajaran agama Islam, sekalipun sudah krisis ajalnya, agama mengajarkan agar manusia itu tetap berikhtiar dengan usahanya dan bersabar.
Dalam ujian promosi doktor ini, Dr.dr. Rospita Adelina Siregar, MH.Kes di bimbing oleh Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.M sebagai Promotor dan Prof. Dr. Wila Chandarawila S.H., selaku Ko Promotor. Sedangkan empat penguji antar lain Prof. Dr. Ir. H. Rudi Bratamanggala, M.M., sebagai ketua, Dr. H. Muhammad Faisal Amir (sekretaris). Dr. Aziz Budianto, S.H., M.S., (penguji) dan Dr. Luthfie Hakim, S.H., M.H., (penguji eksternal). Baik pembimbing maupun penguji mengharap agar dr. Rospita Adelina Siregar yang juga berprofesi sebagai dokter, memberi pemahaman kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemberian bantuan pengakhiran kehidupan (Euthanasia aktif maupun pasif) dalam dunia medis.