Pernas XII JPRR Upayakan Navigasi Masyarakat Sipil Hadapi Krisis Demokrasi

Pernas XII JPRR Upayakan Navigasi Masyarakat Sipil Hadapi Krisis Demokrasi

INSPIRASI-ID, Jakarta — Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menggelar Pertemuan Nasional (Pernas) XII dengan mengusung tema “Navigasi Masyarakat Sipil Menghaapi Krisis Demokrasi”. Kegiatan yang diikuti Lembaga-lembaga ang tergabung dalam jaringan ini berlangsung di Hotel Akmani, Jakarta (18/7/24).

Pembukaan Pernas XII JPRR diawali dengan prakata oleh Nurlia Dian Paramita selaku Koordinator Nasional JPPR 2021-2024 serta paparan oleh Herwin J.H. Malonda (Anggota Bawaslu RI) dan Rahmat Bagja (Ketua Bawaslu RI) selaku keynote speaker.

Sebelumnya juga digelar Diskusi Media dengan menghadirkan Usman Hamid (Aktivis HAM, Direktur Amnesty International Indonesia), Luluk Nur Hamidah (Anggota Komisi VI DPR RI, Pegiat Perempuan dan Kebijakan Publik), Ichal Supriadi (Pengamat Politik Asia, Direktur Asia Democracy Network) dan Kornas JPPR Nurlia Dian Paramita.

Menurut Nurlia Dian Paramita, pelaksanaan sistem demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998 semakin menurun tajam, khususnya pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024. “Memang ini bagian dari rangkaian proses setelah 25 tahun bergulir Reformasi, ternyata kita sampai ke posisi hari ini. Sisi di mana ada signifikansi penurunan (demokrasi),” ujar sosok yang akrab disapa Mita in.

Sebelum Pemilu Serentak 2024 memasuki tahapan pelaksanaan, terdapat catatan-catatan persoalan. Salah satunya terkait seleksi penyelenggara pemilu yang dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). “Harus kita akui bahwa ketika kita flashback di 2021 pada saat pencalonan penyelenggara pemilu, sudah terprediksi (calon komisioner yang akan terpilih),” ungkap Mita.

Mita juga mengkritisi kinerja KPU berkaitan dengan verifikasi syarat kepesertaan partai politik (parpol) dalam Pemilu Serentak 2024. Mita menilai terdapat manipulasi data keanggotaan parpol. “Verifikasi faktual parpol, kita juga mengawal bagaimana masyarakat yang bukan anggota parpol tapi namanya tercatut. Dan dia bingung mau advokasi gimana supaya dia tidak tercatut namanya, karena ada yang jadi ASN, dan ada yang berharap kerja di tempat yang tidak boleh ada afiliasi politik, tapi ternyata itu terjadi,” paparnya.

Selain itu, Mita juga menyorot soal pengaturan sosialisasi di luar masa kampanye oleh KPU. Ia mendapati anggaran penyelenggaraan pemilu yang sangat besar tapi tidak dapat memfasilitasi parpol mengenalkan diri sebagai peserta Pemilu Serentak 2024. “Kalau kita berharap sosialisasi oleh penyelenggara pemilu, itu kemudian partai yang jumlahnya cukup banyak bisa cukup mendapatkan tempat. Tapi hasilnya justru berkurang. Tahun 2019 kita sembilan parpol yang lolos electoral threshold. Tetapi ternyata di 2024 jadi delapan,” ungkapnya menyesalkan.

Mita juga mempertanyakan sosialisasi oleh KPU yang menurutnya tidak berdampak. “Apa gunanya sosialisasi yang selama ini dilakukan kalau ternyata hasilnya sama saja. Anggaran (Pemilu Serentak 2024 mencapai) Rp76 triliun tapi untuk mendekatkan pada proses siapa yang akan mereka pilih tidak jauh berbeda. Nah ini ada apa?” ujarnya retoris.

Sementara itu, selain sejumlah permasalahan yang muncul, Mita juga merasa aneh melihat survei tingkat kepercayaan publik yang masih tinggi pasca pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. “Bicara tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu, ini surveinya Kompas cukup tinggi lagi. Saya agak kaget. Kemarin ketika melihat prosesnya banyak tercederai tapi masyarakat seolahtidak masalah ternyata,” ungkap Mita. (Gie)

Join the discussion

Instagram has returned empty data. Please authorize your Instagram account in the plugin settings .

Menu

Instagram

Instagram has returned empty data. Please authorize your Instagram account in the plugin settings .

Please note

This is a widgetized sidebar area and you can place any widget here, as you would with the classic WordPress sidebar.

pafipayakumbuhkab.orgslot danaslot dana