Nama Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi-Simatupang, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia ini dikenal sebagai pionir antropologi hukum di Indonesia. Perempuan kelahiran Pemantangsiantar, 2 April 1930 ini juga dijuluki sebagai The Mother of Indonesian Feminist Studies.
Tahun 1979 ia menggagas Kelompok Studi Wanita di FISIP UI. Tahun 1990, Prof Omas bersama teman-temannya mendirikan Program Studi Kajian Wanita tingkat Magister di UI. Ia juga turut mendirikan FISIP Universitas Indonesia. Tahun 2006 mengadakan konvensi internasional tentang pluralisme hukum yang bisa dipakai untuk membela hak-hak adat dan tanah ulayat.
Untuk mengenang jasa adik dari Jendral TB Simatupang ini, dalam rangkaian Dies Natalis ke-94, Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan Tapi Omas Ihromi Memorial Seminar: “Napak Tilas dan Refleksi atas Sumbangsih Pemikiran Prof. Tapi Omas Ihromi dalam ‘Antropologi Hukum’ dan ‘Gender dan Hukum’ di Indonesia” (11/10).
Dibuka oleh Prof. Sulistyowati Irianto, memorial seminar ini menghadirkan Prof. Saparinah Sadli, Prof. Valerie J.L. Kriekhoff, dan dr. Kurniati Ihromi-Tanjung sebagai pembicara. Prof. Sulis, yang pernah menjadi asistennya menyebutkan banyak pembelajaran. “Ibu Ihromi tidak pernah bertanya upahmu berapa. Kerja seberat apa pun selalu lakukan untuk Tuhan dan Tanah Air,” katanya. “Kalau ngomong padat, pilihan kata dan intonasinya tepat sehingga menarik,” tambah Dr. Rikardo Simarmata dari UGM.
Di mata putri sulungnya, dr. Nia Ihromi-Tanjung, Prof. Omas seorang ibu radikal yang banyak akal. Ada keputusan radikal yang dibuat dalam karier. Misalnya mulai dari pengajar TK hingga menjadi Guru Besar FH-UI. Mendobrak hukum positif dan menciptakan mata kuliah baru yang dianggap penting. Dan, ini yang jarang dilakukan dosen: menawarkan diri menjadi penyelamat skripsi. Keputusan radikal juga dirasakan Nia di rumah, seperti tidak ada televisi, membuat buku bilingual sendiri.
Setelah pensiun, Prof. Omas mengambil peran sebagai konsultan di telepon dalam layanan PGI. Saat fisiknya semakin menurun, batinnya semakin kuat. “Ibu membedah buku-buku ayah, terutama Pengajaran Alkitab, dan menemukan semangat di sana. Ia menulis tentang wanita-wanita di Alkitab,” tutur Nia. (Gie)