INSPIRASI-ID, Jakarta — Tahun 2024 ini, para Uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) merayakan 100 tahun kehadiran KWI di Indonesia, tepatnya tanggal 15 Mei 2024. Perayaan ini dilakukan dengan menyelenggarakan sidang dalam dua masa sidang. Masa sidang pertama tanggal 13–16 Mei dan kedua pada 7–13 November 2024 di Jakarta dengan tema Berjalan Bersama Membangun Gereja dan Bangsa. “Dalam masa sidang pertama, kami bersama-sama mendengarkan suara-suara umat dari berbagai kelompok masyarakat. Suara umat tersebut kami refleksikan bersama. Kami berusaha untuk menemukan pesan-pesan yang tersembunyi di balik kesaksian-kesaksian mereka. Pada sidang kedua ini, kami melihat kembali dan mengevaluasi karya pelayanan kami bagi Gereja dan Masyarakat Indonesia,” demikian disampaikan Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC dalam jumpa media di Media Center KWI , Jakarta (12/11).
Perayaan 100 tahun ini juga disebutkan kesempatan untuk merefleksikan secara bersama-sama perjalanan 100 tahun KWI, baik di tingkat Nasional melalui webinar, maupun hari studi di tingkat keuskupan. Perayaan 100 tahun KWI ini dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak, khususnya saudara-saudari kita yang menyandang disabilitas. “Kami bersyukur bahwa Allah menjaga dan membimbing perjalanan KWI selama satu abad. Perjalanan yang panjang itu telah menjadikan konferensi sebagai persekutuan para waligereja yang memiliki karakter kuatnya persaudaraan (kolegialitas) dan kerja sama dalam mewartakan kabar gembira serta melaksanakan misi melalui berbagai pelayanan pastoral,” tambah Mgr. Antonius didampingi Sekjen KWI Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM.
Selama 100 tahun ini, Gereja Katolik terus berupaya untuk menjadi persekutuan umat Allah yang peka dan peduli dengan situasi dan persoalan yang terjadi. Hal itu tampak dari pewartaan kabar gembira di berbagai belahan negeri ini dalam rupa pelayanan pendidikan, karya kesehatan, dan tindakan amal kasih yang masih terus berlangsung. Dalam menjalankan berbagai pelayanan tersebut, Gereja Katolik tidak berjalan sendirian, melainkan bersama semua orang, sesama makhluk ciptaan Tuhan. Gereja membuka diri untuk membangun jaringan, menerima unsur baik dalam budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal setempat serta mewartakan kasih Allah secara kontekstual. Dengan diterangi oleh kasih Allah yang begitu besar, Gereja Katolik selalu memandang bahwa semua orang dengan segala perbedaannya adalah saudara “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya”(Rm. 10:12).
Deklarasi Bersama Istiqlal 2024
Upaya berjalan bersama itu semakin diteguhkan dengan kehadiran Bapa Suci Fransiskus ke Indonesia tanggal 3–6 september 2024 yang lalu. Bapa Suci hadir sebagai sahabat bagi semua orang yang ditunjukkan dengan tindakan sederhana tetapi amat mengesankan hati banyak orang, seperti membuka kaca jendela mobil, melambaikan tangan sambil tersenyum, dan beberapa kali berhenti untuk menyapa, bersalaman serta memberkati orang-orang yang telah menunggu di pinggir jalan. Kesederhanaan, keramahan, ketulusan dan kerendahan hatinya memberikan sukacita tidak hanya bagi umat Katolik tetapi juga umat beragama lain. Kepeduliannya yang besar untuk menerima saudara-saudari yang menderita diungkapkan dengan kesediaan beliau berjumpa, berinteraksi, dan memberkati para penyandang disabilitas, lansia, dan orang-orang sakit.
Secara khusus Bapa Suci mengajak Gereja Katolik dan umat beragama lain untuk semakin erat berjalan bersama. Kerinduan dan harapan Bapa Suci tersebut diungkapkan melalui penandatanganan Deklarasi Bersama Istiqlal 2024: Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan. Deklarasi ini mengaskan kembali pesan Dokumen Abu Dhabi 2019. Dengan deklarasi itu, Paus mengingatkan kita akan panggilan semua orang untuk menabur benih harapan dan membangun perdamaian.
Paus juga mengingatkan semua agar mencari jalan untuk mengatasi soal dehumanisasi dan perubahan iklim. Dalam gerak bersama itu semua umat beragama diharapkan semakin menghidupi nilai-nilai agamanya untuk mengalahkan budaya kekerasan dan meningkatkan sikap hormat terhadap martabat manusia, solidaritas, dan rekonsiliasi; para pemimpin agama bekerja sama menanggapi berbagai krisis yang ada dengan mengidentifikasi penyebab dan mengambil tindakan yang tepat; dan menempatkan dialog antar budaya dan antarumat beragama sebagai sarana yang efektif untuk menyelesaikan konflik lokal, nasional, dan regional, yang dipicu oleh masalah SARA.
Pesan Natal Bersama PGI-KWI
Sidang kedua KWI tahun ini juga merumuskan pesan Natal Bersama PGI-KWI yang mengambil tema: “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem” (Luk 2:15). Menyambut pemerintahan baru kita, baik PGI maupun KWI mengajak kita semua untuk bersyukur dan berharap agar kita bergandengan tangan, mempererat persaudaraan dan berjalan bersama memajukan negeri tercinta ini. Semoga negara Indonesia dapat menjadi “Betlehem” baru, tempat lahir dan bertumbuhnya para pemimpin yang berjiwa pelayan, ugahari, tidak rakus dan tamak, hidup sederhana, dan mengutamakan kepentingan bangsa. Agar harapan-harapan tersebut dapat diwujudkan, sikap kritis dan sportif yang dilandasi cinta tanah air dan bangsa Indonesia, sangat diperlukan.
Sidang KWI ini mengingatkan kita semua akan misi Gereja hingga kini. Sebagaimana Yesus mengutus keduabelas murid-Nya untuk memberitakan Kerajaan Allah (bdk. Luk.9:2) demikian juga kita diutus untuk mewartakan kasih-Nya di tengah dunia dengan segala persoalan dan tantangannya. Oleh karena itu, semua perangkat Konferensi Waligereja Indonesia digerakkan untuk melaksanakan misi membangun Gereja dan Bangsa Indonesia.
“Dengan cara itu, kita turut mewujudkan hidup berbangsa yang lebih menghormati hak asasi manusia, melestarikan alam semesta, mengedepankan dialog, dan cara-cara damai dalam menyelesaikan persoalan. Kita berharap pemerintah mengayomi seluruh warga negara tanpa pandang bulu, menegakkan hukum seadil-adilnya, dan dapat selalu hadir dalam kegelisahan, ketakutan, kekawatiran, dan kegalauan masyarakat. Para pemimpin hendaknya memimpin dan membuat kebijakan dengan menggunakan hati nurani (bdk. Rm. 13:5) dan mendengarkan harapan serta keinginan rakyat dengan telinga hati,” tandas Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC.
Prihatin Bencana Kemanusiaan
Sidang kedua KWI tahun ini juga diwarnai oleh keprihatinan yang amat mendalam atas bencana alam erupsi gunung berapi Lewotobi. Begitu banyak saudara-saudari kita yang terdampak oleh bencana alam tersebut. “Bencana alam itu juga menjadi bencana kemanusiaan. Peristiwa itu menimbulkan trauma cukup besar di semua kalangan dan lapisan masyarakat. KWI merespons bencana alam itu melalui emergency response yang dikoordinir oleh Caritas Indonesia, sekaligus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan nanti untuk pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana. Semua itu dilaksanakan dalam semangat sinodalitas dan cinta kasih,” tandas Mgr. Antonius.
Sebagai penutup, Mgr. Antonius menyampaikan bahwa Tahun 2025 nanti adalah Tahun Yubileum bagi umat Katolik di seluruh dunia. Paus Fransiskus memilih tema untuk Bulla Yubileum ini “Spes Non Confundit” dengan maksud untuk meneguhkan para Peziarah Harapan agar tetap kuat dalam pengharapan akan kebaikan dan kemurahan hati Allah. “Percayalah, pengharapan itu tidak akan mengecewakan! Maka tahun 2025 nanti juga menjadi tahun pengharapan bagi kita semua, pengharapan akan yang terbaik bagi Gereja dan Bangsa Indonesia. Semoga kita semua tidak pernah kehilangan pengharapan untuk terus berjuang demi terciptanya Gereja dan Bangsa Indonesia yang dipenuhi oleh cinta kasih Allah,” pungkasnya. (Gie)