Setiap minggu pertama bulan Oktober, Gereja-gereja di seluruh dunia melaksanakan Perjamuan Kudus serentak yang dikenal sebagai Hari Perjamuan Kudus se-Dunia (HPKD).
Untuk memperkaya wawasan seputar Perjamuan Kudus yang beragam, kami sajikan ulasan tentang Perjamuan Kudus bagi anak-anak, Perjamuan Kudus di Gereja Anglikan, dan penelusuran Pdt. Joas Adiprasetya mengenai pemikiran tentang Perjamuan Kudus di dua dokumen terpenting Dewan Gereja se-Dunia (WCC), yakni BEM (Baptism, Eucharist and Ministry) dan The Church.
Persekutuan Misional
Hari Perjamuan Kudus se-Dunia (HPKD) bertujuan untuk mengingat karya penebusaan Allah dalam Yesus Kristus. Melalui Perjamuan Kudus Gereja-gereja sedunia menghayati secara segar tentang makna pengorbanan Yesus Kristus bagi penebusan dosa dunia sekaligus partisipasi orang-orang percaya sebagai anggota tubuh Kristus dalam solidaritas dengan mereka yang menjadi korban ketidakadilan dosa sosial dan masalah kemanusiaan lain seperti korban bencana alam.
Bagi gereja-gereja di Indonesia HPKD dirayakan sekaligus untuk memperingati Hari Pekabaran Injil di Indonesia (HPII). Sebagaimana dirilis oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), penyatuan ini menyatakan kesatuan kesadaran bahwa sejatinya persekutuan umat Kristen yang dirayakan melalui Perjamuan Kudus adalah persekutuan misional. Oleh karena itu persembahan yang terhimpun pada HPKD diharapkan dapat menopang Pekabaran Injil di wilayah-wilayah terpencil.
Tema HPKD dan HPII tahun 2019 ini adalah “Kemenangan Yang Hanya Dari-Nya” (Ratapan 1:1-6). Tata Ibadah Perjamuan Kudus setiap tahun bergantian sesuai tata ibadah anggota PGI yang terpilih.Tahun ini digunakan Tata Ibadah Perjamuan Kudus dari Gereja Kalimantan Evangelis (GKE).Salah satu yang menarik,Tata Ibadah Perjamuan Kudus GKE ini telah melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.
Sejauh ini memang masih ada perbedaan pandangan terkait Perjamuan Kudus bagi anak-anak. Oleh karena itu, PGI memberi catatan, bagi gereja-gereja yang belum melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus dapat memodifikasi unsur yang terkait dengan pelibatan anak-anak dalam Perjamuan Kudus sesuai dengan konteks dan pergumulan gereja masing-masing.
Perjamuan Kudus bagi Anak-anak
Menurut Pdt. Dr. Joas Adiprasetya, sejak gereja mula-mula, sebenarnya praktik perjamuan kudus bagi anak-anak yang sudah dibaptis, berapa pun usianya, sudah dilakukan. Praktik ini diteruskan hingga kini oleh gereja-gereja Orthodoks Timur.
Gereja-gereja Barat (Katolik dan Protestan) menolak perjamuan kudus bagi anak-anak setelah muncul perumusan doktrin transsubstansiasi pada Konsili Lateran IV (1215). Doktrin ini mengajarkan bahwa roti dan anggur ekaristi secara sempurna berubah hakikatnya menjadi tubuh dan darah Kristus. “Ada kekhawatiran anak-anak dengan mudah menjatuhkan roti atau menumpahkan anggur yang kudus itu. Akibatnya, anak-anak dilarang menerima roti dan anggur. Kemudian hari Gereja Katolik memberi kelonggaran bagi anak-anak yang dianggap memenuhi usia akalbudi (annos discretionis), yaitu sekitar tujuh tahun. Sejak itulah perjamuan kudus bagi anak-anak ditolak,” ujarnya.
Gereja-gereja Protestan tampak mengadopsi pandangan Katolik ini. Bahkan lebih menegaskan dengan menetapkan bahwa perjamuan kudus diperuntukkan bagi mereka yang sudah sidi atau mengaku percaya. “Perjamuan kudus seharusnya tidak dikaitkan dengan sidi tapi dengan baptisan kudus. Sama seperti baptisan kudus tidak mensyaratkan iman anak-anak yang dibaptis, demikian seharusnya perjamuan kudus bagi kanak-kanak tidak boleh mensyaratkan iman anak-anak tersebut. Sehingga sejak dini anak-anak Kristen yang telah diterima ke dalam tubuh Kristus sebagai anak-anak yang menerima perjanjian anugerah melalui baptisan kudus, dapat mengalami sejak dini hospitalitas Allah di dalam Kristus yang mengenyangkan iman mereka lewat perjamuan kudus,” tandasnya.
Berbagai perbedaan pandangan menunjukkan keragaman Tubuh Kristus yang tidak perlu menjadi penghambat. Perbedaan menunjukkan kekayaan pemahaman dengan konteks dan latar belakang keunikan masing-masing.
Berkenaan dengan solidaritas Gereja bagi sesama yang menderita, belakangan banyak narasi pilu dan pedih di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bumi Cendrawasih masih berselimut dukan. Ada tragedi kemanusiaan di Kabupaten Nduga, Papua. Akibat konflik, 45.000 warga mengungsi dan telah menewaskan 182 jiwa akibat kelaparan. Mereka, karena alasan tertentu, menolak bantuan pemerintah dan hanya percaya kepada gereja.
Sementara upaya penyelesaian tengah berjalan, pecah kerusuhan di bererapa kota di Papua. Wamena mengalami korban yang paling parah. Puluhan jiwa menjadi korban, ribuan orang menjadi pengungsi dan kehilangan mata pencaharian.
Pada belahan lain, setahun lebih pasca gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pemulihan masih berlangsung. Begitu pula di Palu, Sigi dan Donggala yang dilanda gempa, tsunami dan likuifaksi. Masih ribuan yang menjadi pengungsi. Saatnya Gereja mengenang pengorbanan Kristus dengan bersolidaritas. (Gie)
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia