People don’t care how much you know until they know how much you care. — John C. Maxwell
Salah satu hal terpenting dari seorang pemimpin adalah menjadi connector. Itulah alasan saya memasukkan hal ini sebagai salah satu dari 5 unsur utama Bintang Servant Leader, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

- Hati seorang pelayan (servant’s heart): adanya dorongan kuat dari hati nurani yang paling dalam untuk mengabdi secara tulus demi kebaikan organisasi dan orang lain.
- Pemimpin Tur (tour leader): kesadaran mendalam bahwa semuanya harus dimulai dari diri sendiri sehingga mendorong pemimpin untuk menjadi teladan.
- Mentor: kesadaran bahwa prestasi dan sukacita datang dari membimbing orang-orang di sekitar pemimpin.
- Pembangun hubungan (connector): kesadaran dan upaya nyata untuk membangun relasi erat dengan semua orang, baik pihak internal maupun eksternal.
- Pembangun Tim (team builder): kesadaran bahwa prestasi besar hanya bisa dicapai bersama orang lain atau melalui orang lain sehingga pemimpin membangun tim yang andal.
Sekarang mari kita fokus dulu membahas tentang connector.
Apa yang membuat seseorang betah bekerja di suatu perusahaan atau instansi? Atau, apa yang membuat seorang anak betah di rumah? Jawabannya bisa sangat beragam, namun yang pasti ada satu hal yang menjadi benang merah: suasana yang menyenangkan. Ya, suasana yang membuat seseorang merasa diterima, dihargai, dihormati, akan membentuk ikatan emosional positif antara dirinya dengan orang-orang di komunitas tersebut.
Seorang anak remaja yang merasakan kasih tanpa syarat (unconditional love) dari anggota keluarga lainnya, niscaya lebih suka menghabiskan waktu di rumah daripada nongkrong di kafe bareng teman-temannya. Atau, mungkin saja rumah menjadi base camp bagi dia dan teman-temannya. Home sweet home atau heaven on earth, begitulah ia akan menggambarkan situasi kediamannya.
Suasana Kekeluargaan
Riset membuktikan bahwa salah satu hal yang akan memunculkan loyalitas anak buah adalah hubungan positif di tempat kerja. Dengan kata lain, ia merasakan sendiri bahwa tempatnya bekerja adalah rumah kedua yang nyaman. Ia merasa diperlakukan sebagai manusia bermartabat atau anggota keluarga, bukan sekadar “alat” produksi demi menghasilkan profit bagi perusahaan.
Suasana kekeluargaan yang begitu erat akan membuat anak buah merasa betah dan mendorongnya bekerja sepenuh hati. Sebab, bagaimana mungkin orang tidak terdorong melakukan yang terbaik bagi orang yang dicintainya? Jika ia merasa rekan kerja dan pemimpinnya sungguh menjadi sahabatnya, ia pun dengan tulus ikhlas melakukan sesuatu dengan hati, tidak semata-mata karena ingin mendapatkan imbalan materi. Hati dan pikirannya tidak akan berkelana atau melayang-layang ketika ia berada di tempat kerja.
Riset juga membuktikan bahwa salah satu alasan terkuat seorang karyawan keluar dari tempat kerjanya adalah karena tidak ada hubungan positif, khususnya dengan sang pemimpin. John Maxwell (sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul Leadership Gold) punya istilah yang sangat bagus mengenai hal ini: people quit people, not companies!
Faktor-faktor yang seringkali mempercepat ketidakbetahan seseorang di tempat keja adalah:
- Pemimpin yang dirasa tidak menghargai anak buah (devalue them).
- Pemimpin yang tidak bisa dipercaya (untrustworthy).
- Pemimpin yang tidak cakap bekerja (incompetent).
- Pemimpin yang merasa terancam jika anak buahnya lebih pintar darinya sehingga ia tidak memberikan kesempatan anak buah berkembangnya (insecure).
Lalu, bagaimana sebagai seorang pemimpin saya tahu bahwa di tempat saya berada ada hubungan positif? Salah satu pendekatan yang bisa digunakan sebagai indikator adalah Connecting Signals, sebagaimana yang ditunjukkan secara gamblang oleh John C. Maxwell, dalam bukunya, Everyone Communicates Few Conncet.
Connecting Signals

Dari 9 sinyal di atas, manakah yang sudah ada di tempat Anda? Manakah yang belum ada? Apa saja yang harus dilakukan untuk menghadirkan, mempertahankan dan memperkuat sinyal-sinyal tersebut?
Bercermin dari hal di atas, maka tantangan bagi seorang pemimpin adalah membangun, mempertahankan dan memperkuat hubungan yang ada. Seorang servant leader pasti sadar bahwa ia dituntut untuk membangun hubungan alias menjadi connector. Pemimpin yang baik akan membangun jembatan bagi orang lain, bukan membangun tembok.
Sayangnya, tidak sedikit pemimpin yang justru membangun tembok dengan orang-orang yang dipimpinnya. Seolah-olah ia membangun sebuah imperiumsendiri dengan menciptakan jarak. Akibatnya, orang-orang yang dipimpinnya semakin jauh, baik secara fisik maupun emosional. Alhasil, bukan “jauh di mata dekat di hati”, namun “jauh di mata jauh di hati”.
Pemimpin yang hanya membangun tembok, biasanya akan merasakan kesepian yang luar biasa. It’s lonely at the top! Sepi rasanya di puncak. Jika itu juga yang Anda rasakan saat ini, maka perkenankanlah saya mengutip saran dari John Maxwell yang sudah sedikit saya modifikasi:
“Turunlah dari puncak. Hargailah orang-orang Anda dan bangunlah hubungan yang kuat dengan mereka. Latih mereka. Kembangkan mereka. Buat mereka menjadi lebih baik dalam segala hal. Lalu, bersama-sama naiklah ke puncak untuk menggapai prestasi yang lebih tinggi!”
The Art of Connecting
Connecting is the ability to identify with people and relate to them in such a way that it increases our influence with them. Connecting adalah kemampuan mengenal orang dan berhubungan dengan mereka sehingga meningkatkan pengaruh kita atas mereka.
Oleh sebab itu, para pemimpin perlu belajar menjadi seorang connector yang andal. Tentu ini tidak mudah. Ada begitu banyak alasan, mengapa pemimpin gagal connect dengan orang lain. Tiga alasan utama adalah: ketidakdewasaan (immaturity), ego, dan gagal menghargai orang lain.
Apa yang dilakukan bayi ketika ia merasa haus? Ia akan terus menangis sampai diberikan minum. Ia tidak mau peduli dan tidak mau mengerti kesibukan orangtua atau pengasuhnya. “Pokoknya saya haus dan harus dikasih minum, sekarang!” begitu prinsip bayi. Makanya jangan pernah berharap, bayi atau katakanlah batita bertanya kepada orangtuanya, “Apa yang bisa saya bantu?”
Mengapa anak anjing dan anak kucing suka berantem? Ya, namanya juga anak-anak! Hobinya memang begitu. Maklumlah belum dewasa. Masih merasa dirinya bintang utama atau pusat alam semesta. Ia belum memiliki kemampuan untuk melihat dan bertindak demi orang lain. Sebaliknya, kedewasaan adalah kemampuan untuk melihat dan bertindak demi orang lain (maturity is the ability to see and act on behalf of others).
Membangun hubungan dengan orang-orang di sekitarnya adalah tanggung jawab pemimpin. Bukan tanggung jawab anak buah! Layaknya lokomotif yang mencari gerbong dan bukan sebaliknya, demikian juga para pemimpin perlu menyadari hal ini. Jika anak tidak dekat dengan ayahnya, itu cenderung merupakan kesalahan ayahnya. Mungkin karena saking sibuknya, sang ayah tidak pernah secara sengaja meluangkan sedikit waktu dan memberikan perhatian yang cukup untuk sang anak.
Beberapa kunci utama dalam membangun hubungan dengan orang lain adalah: hargailah orang lain (tidak semua orang sama dengan kita), hargailah apa yang penting bagi mereka (keluarga, agama, adat, tradisi, dst), buat diri Anda semakin berharga (sehingga semakin banyak yang bisa Anda kontribusikan), dan jangan pernah sombong atau merasa diri paling benar sebab Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mengasihi semua orang.
R.E.S.T. in Leadership
Saya memiliki sebuah pendekatan sederhana mengenai pentingnya pemimpin menjadi connector. Pernahkah Anda mendengar kalimat Rest in Peace? Kali ini saya ingin menawarkan konsep baru R.E.S.T. in Leadership.
R = Relasi
E = Energi
S = Sinergi
T = Totalitas
Di mana ada relasi yang kuat, maka akan timbul energi (positif) yang mendorong semua orang untuk melakukan sinergi dan memberikan sesuatu secara totalitas. Hal ini berlaku di mana-mana, baik di keluarga, organisasi non-profit hingga organisasi profit.
Membangun relasi baik yang kuat tentu butuh waktu dan proses panjang. Namun, jangka panjang akan memberikan hasil positif dan kepuasan batin yang tidak akan pernah bisa diukur dengan materi. Ini persis hukum alam: apa yang Anda tabur akan Anda tuai!
Seorang sahabat pernah mengatakan, “Semua orang yang kita kenal membawa kebahagiaan dalam hidup kita. Ya, semua orang! Ada yang membawa kebahagiaan ketika ia datang. Namun ada pula yang justru membawa kebahagiaan ketika ia pergi.” Sebuah nasihat penuh canda namun memiliki makna filosofis yang sangat mendalam.
Secara pribadi, saya selalu ingin dan berusaha membawa kebahagiaan ketika saya berjumpa dan bersama dengan orang lain, bukan justru ketika saya pergi. Namun, ada juga orang yang semakin cepat dia pergi semakin baik. Kita cenderung menghindari orang-orang seperti itu. Bagaimana menurut Anda? ***
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia