Solusi Diakonia GBKP Tanah Karo bagi Petani Menghadapi Dampak Covid-19
TIGATA lahir dari keprihatinan tingginya penyebaran virus Covid-19, anjloknya harga produk pertanian masyarakat, sulitnya mencari pekerjaan, serta upaya mendukung kebijakan “di rumah saja”.
Petani & Buruh Terancam

Salah satu tantangan yang dihadapi sebagai dampak Covid-19 adalah masalah ketahanan pangan. Sementara, petani yang menjadi tulang punggung produksi pangan juga menghadapi kesulitan yang serius. Tanah Karo, Sumatra Utara sebagai penghasil sayur mayur dan buah-buahan juga mengalami dampak Covid-19. “Harga pasar anjlok drastis, cabai rawit sempat di harga 4.000, tomat 2.500, dll. Petani hanya bisa pasrah. Ini menjadi ancaman serius bagi petani, juga konsumen, jasa transportasi, ibu rumah tangga, pedagang eceran, dan lain-lain,” tutur Pdt. Rosmalia Barus, S.Th.
Pemerintah tanpa letih menyerukan agar masyarakat “jaga jarak, di rumah saja, pakai masker, cuci tangan, istirahat cukup”, agar virus Covid-19 tidak menyebar oleh kita. Namun di kota dingin Kabanjahe dan Berastagi, hal itu seolah diabaikan. “Setiap pagi kami bertemu, berbicara, bahkan kami mendengar cerita duka mendalam dari ribuan masyarakat pekerja ladang harian yang terus berjuang mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Bagi mereka, kematian akibat kelaparan lebih menakutkan dibandingkan virus corona,” kata Rosmalia
Ketua Bidang Diakonia di Moderamen GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) itu menuturkan, banyak petani tidak memanen hasil bumi mereka karena tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Apalagi untuk membayar upah pekerja ladang harian antara Rp 80.000-100.000 per hari. Akibatnya, bukan hanya petanu yang rugi. Ribuan pekerja ladang harian di Tanah Karo juga terancam menganggur, kehilangan pekerjaan.
“Situasi ini menjadi perhatian serius bagi Diakonia GBKP. Ada beberapa jemaat melakukan gerakan spontanitas saling membantu menyalurkan hasil pertanian secara manual, sistem barter. Moderamen GBKP melalui Bidang Diakonia bersama Tim Gugus Tugas Covid-19 GBKP tidak kenal lelah untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat, disamping aksi emergency response lainnya,” ujar Pdt. Rosmalia.
Membuat Aplikasi

Ketika masyarakat dianjurkan untuk di rumah saja, sejak awal Maret 2020 Tim Gugus Tugas Covid-19 GBKP terus bekerja menggumuli masalah-masalah dampak Covid-19, sambil tetap konsisten mengikuti protokol kesehatan dengan menjaga jarak. “Tantangan berat yang kita hadapi adalah peluang besar untuk terus berani melakukan yang terbaik walau penuh risiko. Kami mulai menyalurkan hasil tani masyarakat secara konvensional, dari mulut ke mulut. Di tengah pergumulan besar tersebut, Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untuk membantu kami. Mahendra Tlapta Sitepu dari Pak Tani Digital dengan tulus menolong kami dengan menyediakan aplikasi sistem pasar online berbasis komunitas. Kami beri nama TIGATA, artinya pasar kita bersama. Tepat 1 Mei 2020, pada Hari Buruh, kami memulainya,” papar Pdt, Rosmalia.
Upaya membuat aplikasi TIGATA: “Belanja Online Kebutuhan Dapur” itu bermula tiga hari sebelumnya ketika Mahendra berdiskusi dengan beberapa pendeta. “Kami melihat kenyataan rendahnya harga hasil panen petani di tengah kondisi pandemi saat ini. Saya tebersit untuk mendorong bergeraknya Ekonomi Komunitas Berbasis Teknologi,” tutur Mahendra Sitepu.
Pendiri www.paktanidigital.com: “Startup Sosial Petani Indonesia” ini mengungkapkan, dengan singkatnya waktu, segala perencanaan yang luas dan mendalam agak dikesampingkan dan lebih memilih strategi Bayi Belajar Berjalan. “Semakin sering terjatuh, tetapi tangguh dan cepat bangkit belajar dari kejatuhan, maka semakin cepat bayi tersebut bisa berjalan bahkan berlari. Tentunya pengkondisian strategi ini dengan memilih risiko-risiko paling minimalis,” ungkapnya.
Pada tahap awal, operasional belanja kebutuhan dapur online TIGATA masih dibatasi untuk area Berastagi & Kabanjahe. Mahendra menyadari, untuk Tanah Karo memang lebih ke area produksi pertanian ketimbang konsumsi, yang umumnya area perkotaan dan daerah urban. “Begitupun, modelling sistim ini justru sangat cocok dilakukan di Tanah Karo, bukan Medan, dengan alasan daerah produksi dan konsumsi sekaligus. Jadi, ada dua wawasan (insight) pembelajaran yang didapat sekaligus. Sampai dipandang model ini cukup ‘duduk’, maka selanjutnya sistem ini sangat memungkinkan diterapkan di kota-kota besar lainnya. Bukan hanya Medan, namun seluruh Indonesia, terutama di tempat bagian dari komunitas atau ekosistem GBKP atau Karo berada!” jelas Mahendra.
Melampaui Batas
Sekilas di balik layar, Mahendra menyatakan bahwa mengembangkan aplikasi sampai tahap “Beta” (1 dari 3 tahap) ini, normalnya butuh 3 pekerja IT selama 2 minggu. Total sekitar 30 hari kerja. Tetapi, dengan 2 pekerja, bisa selesai dalam 3 hari (total 6 hari kerja). “Semangat dan empati ternyata bisa melampaui keterbatasan!” ujarnya.
Dengan pengembangan sistim yang dibangun bertahap melalui aplikasi ini Mahendra berharap petani di hulu perlahan bisa memotong beberapa rantai perdagangan sehingga harga jualnya lebih adil dan para ibu rumah tangga di hilir dapat memperoleh kebutuhan dapur dengan menghemat waktu, tenaga serta memperoleh harga yang kompetitif. Pedagang di pasar yang umumnya pedagang kecil juga makin bisa diberdayakan dengan sistim yang dibangun. Hal ini juga membuka peluang kerja baru, misalnya pengantar barang, pedagang, pengurus admin, digital marketer, stock-controller hingga pekerja IT. Serta terbukanya kesempatan kemitraan, terutama antara TIGATA dengan petani kecil dan pedagang kecil ke depannya.
Mahendra menambahkan, “Komunitas juga memiliki pengalaman sangat berharga melalui eksperimen membangun SDM dan infrastruktur berbasis BIG DATA, yang ke depannya merupakan aset luar biasa berharga. Ini yang dilakukan hampir seluruh startup-startup yang menjadi unicorn di banyak negara dunia. Juga menjadi modal solusi berbagai persoalan kompleks yang selama ini terjadi di lingkup pertanian, yang lokomotif utamanya adalah tata niaga. Jika model eksperimen ini sukses, maka komunitas ini bisa memberkati community/society lainnya dengan membagikan pengalaman dari sistim pemberdayaan jemaat, masyarakat atau diakonia bersemangat Society 5.0 yang melampaui konsepsi Industri 4.0: Technology not for productivity but for happiness and humanity!”
Melebarkan Sayap
Dengan aplikasi TIGATA ini petani dan pedagang kecil Tanah Karo bisa bereksperimen dan berkreativitas dengan teknologi di masa pandemi untuk menjaga ekonomi rakyat. Setelah 26 hari TIGATA beroperasi di Kabupaten Karo, pelayanan pasar online berbasis komunitas ini mulai menjangkau wilayah Riau Sumbar dan Sibolangit. Menurut Pdt. Rosmalia, langkah ini sebagai upaya mewujudkan salah satu bentuk Diakonia Transformatif di tengah era Covid-19.
Pada 27 Mei 2020, dari Kantor Moderamen GBKP dilakukan soft launching pasar online berbasis komunitas di Wilayah Riau Sumbar, tepatnya di Pekanbaru dengan nama TIGATARAS dan TIGATALIT untuk Wilayah Sibolangit, tepatnya di Sukamakmur.
Pdt. Rosmalia berharap melalui TIGATARAS & TIGATALIT ekonomi petani dan pedagang membaik, lapangan kerja tersedia, kebijakan pemerintah stay at home terlaksana, kebutuhan keluarga terpenuhi. Nama TUHAN dipermuliakan. (Gie)