Kemerdekaan bangsa Indonesia terwujud karena peran intelektual muda di awal abad ke-20. Salah satu tokoh intelektual yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan dan keagamaan adalah Prof. Dr. Mr. Todung Gelar Sutan Gunung Mulia Harahap. Namanya diabadikan dalam Badan Penerbitan Kristen bentukan PGI, yakni BPK Gunung Mulia.
Sutan Gunung Mulia lahir dari keluarga guru di kota pendidikan Padang Sidempuan, 21 Januari 1896. Ia biasa dipanggil Mulia, generasi ketiga Batak Angkola di Tapanuli Selatan. Kakeknya, Ephraim Soetan Goenoeng Toea (1840-1916) merupakan pemeluk Kristen awal di Tanah Batak.
Goenoeng Toea memulai pendidikan dasar di Sipirok dengan guru Nommensen (1862). Awalnya ia menjadi guru kemudian diangkat menjadi jaksa utama – jabatan resmi tertinggi untuk pribumi – di Tapanuli hingga akhir hayatnya. Ayahnya, Hoemala Mangaradja Hamonongan (1865-1933), semula juga berprofesi guru, kemudian menjadi pedagang.
Bergaul dengan Aktivis
Mulia tumbuh bersamaan dengan maraknya semangat politik etis dan berkembangnya gerakan zending di Tanah Batak. Pendidikan dasarnya di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah berbahasa Belanda di Padang Sidempuan dan Sibolga. Ayah dan ibunya terkenal disiplin beragama. Selain belajar pengetahuan umum, lingkungan tempat Mulia tumbuh dan bersekolah mendorongnya untuk mempelajari agama di gereja dengan lebih tekun.
Berbekal kemahiran berbahasa Belanda, Mulia melanjutkan kuliah hukum di Universitas Leiden, Belanda. Ia bergaul dengan mahasiswa Indonesia yang bergabung dalam Perhimpunan Hindia. Ia juga bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Kristen di Belanda (Nederlandsche ChristienStudenten Vereeniging, NCSV). Bertemu dengan aktivis Kristen dan tokoh-tokoh politik etis. Salah seorang sahabat dan “gurunya” adalah Hendrik Kraemer, misionaris, teolog, dan tokoh oikumene Hervormd, serta intelektual yang bersimpati kepada nasionalisme Indonesia. Dari pergulatan pemikiran dan pergaulannya dengan kalangan aktivis, Mulia menemukan jati diri pribadi dan kebangsaannya.
Lulus studi hukum, tahun 1919 Mulia kembali ke kampung halamannya. Setahun menjadi guru, Mulia diangkat menjadi kepala sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Selain sebagai pendidik, Mulia juga mulai membangun jaringan dengan para aktivis gereja di Sumatera. Berbekal pengalaman di Belanda dan dukungan jaringan yang luas serta keuletannya dalam memperjuangkan dunia pendidikan, nama Todung Gunung Mulia makin disegani.
Berjuang Lewat Pendidikan & Politik

Menjadi pendidik adalah cita-cita Mulia sejak muda. Setelah lulus dari Belanda, ia langsung terjun dalam dunia pendidikan. Bahkan ketika menjadi anggota Volksraad di Batavia, ia tetap bolak balik ke Tapanuli untuk mengajar. Ia meyakini pendidikan adalah modal bagi kaum pribumi kelak untuk mengelola bangsa dan negara yang merdeka.
Periode 1920-an, Mulia sudah terlibat dalam pergerakan nasional. Ia menjadi aktivis Jong Sumatranen Bond (JSB), kemudian beralih ke Jong Batak. Tahun 1922 ia mewakili suku Batak menjadi anggota Volksraad dalam masa sidang 1922-1927 dan 1935-1942.
Selain anggota Volksraad, Mulia juga kader CSP (Christelijk StaatkundigePartij) yang semula bernama CEP (Christelijk EtischePartij), didirikan 1929. Tahun itu pula, ia menerbitkan majalah mingguan, Zaman Baroe (New Era). Media ini untuk menampung gagasan dan pemikiran kalangan Kristen pada saat itu.
Dalam buku Menerangi Indonesia dengan Akal Budi: Perjalanan Hidup dan Pelayanan T.S.G. Moelia yang baru diterbitkan BPK Gunung Mulia, Antropolog Rita Kipp menyebutkan Mulia mencurahkan perhatian terhadap pendidikan untuk semua golongan. Kipp menyebut Mulia sebagai “Nasionalis Kristen” yang mampu melewati sekat-sekat rasialis.
Sebagai pendidik, Mulia juga mengajar sebagai Guru Besar di Universitas Indonesia. Setelah agresi militer Belanda sewaktu Perang Kemerdekaan, ia turut pindah ke Yogyakarta dan di Universitas Darurat RI yang menjadi cikal bakal Universitas Gajah Mada.
Setia dalam Persaudaraan

Mulia merupakan kakak sepupu dari Amir Sjarifuddin Harahap, yang kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia (3 Juli 1947-29 Januari 1948). Mereka beda usia 11 tahun. Ia bertindak sebagai “ayah pelindung” bagi Amir, baik ketika di Belanda maupun awal Amir tiba di Batavia. Tahun 1926, Mulia dan Amir sama-sama belajar di Universitas Leiden, Belanda.
Berkali-kali Amir akan dihabisi oleh Belanda, Mulia tetap membelanya. Ketika Amir akan dibuang ke Boven Digul, Papua, Mulia melobi pejabat kolonial agar batalkan. Pada masa pendudukan Jepang, Mulia juga berjuang agar Jepang membatalkan hukuman mati bagi Amir.
Mulia tidak pernah berhenti memberi perhatian bagi Amir dan keluarganya. Setelah Amir tewas di tangan bangsanya sendiri, Mulia tetap menjadi “ayah pelindung” bagi keluarga yang ditinggalkan.
Gerakan Oikumene
Saat kuliah di Leiden, Mulia dan Hendrik Kraemer banyak berdiskusi tentang masa depan gerakan Kristen. Kraemer mendorong Mulia aktif dalam gerakan oikumene. Tahun 1928, Mulia bersama Kraemer menghadiri Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem.
Banyak ide dan gagasan yang berkecamuk di hati dan kepala Mulia setelah mengikuti konferensi. Ia ingin memperluas jaringan pendidikan Kristen, memperbanyak dan menerjemahkan Alkitab, serta mendirikan organisasi politik untuk menampung suara kaum Kristen.
Tahun 1930-an, Kraemer dan Mulia turut berperan dalam upaya mendirikan gereja-gereja Kristen di pelbagai daerah di Nusantara. Mereka bersama-sama menerjemahkan Alkitab dan menyebarluaskan ke Bali, Nusa Tenggara, dan Jawa Timur. Mulia juga berperan penting dalam perjalanan NKB (Naposobulung Kristen Batak), hingga terbentuknya jemaat HKBP Bandung. NKB bertujuan untuk menuntun para pemuda Kristen Batak dalam kehidupan Kristiani.
Gerry van Klinken menyebut Mulia sebagai pemimpin muda baru yang independen. Ia menjadi bagian dari dunia pergerakan kebangsaan seiring dengan pertumbuhan organisasi-organisasi politik di Hindia. Misi politik yang dilakukan Mulia telah diakui dan diterima. Kiprahnya mulai diperhitungkan sebagi tokoh nasional.
Pionir Pendidikan Kristen

Pionir Pendidikan Kristen
Setelah kemerdekaan RI, Mulia dan rekan-rekannya mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Partai ini diharapkan menjadi sebuah partai bagi seluruh umat Kristen Indonesia. 14 November 1945, Mulia ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Ki Hajar Dewantara. Periode revolusi Indonesia ini dimanfaatkan Mulia untuk merevolusi paradigma pendidikan, dari paradigma “bangsa lain” menjadi paradigma kebangsaan Indonesia.
Walau singkat (14 November 1945 sampai 2 Oktober 1946), sejak menjabat menteri, Mulia memiliki akses luas untuk menghidupkan dunia pendidikan, terutama yang berorientasi dan berlatar belakang agama (Kristen). Setelah purna jabatan, Mulia tetap fokus bekerja untuk membangun dunia pendidikan. Tahun 1950, ia menjadi pendiri dan ketua pertama Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI, 1950-1960) yang kini menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Sebagai pendidik, Mulia terpanggil untuk mengembangkan pendidikan lewat jalur swasta mulai dari pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi. Tahun 1953, Mulia bersama Mr. Yap Thiam Hien, Benjamin Thomas Philip Sigar, mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Saat pembukaan, Mulia mengatakan, “Kami masih kecil, tapi janganlah kita berkecil hati, Universitas Yale yang terkenal sekarang di tahun pertama keberadaannya hanya memiliki satu mahasiswa.”
Atas inisiatif Mulia, tahun 1954 dididirikan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jaringan pendidikan Kristen yang dibangun Mulia dan rekan-rekannya dikenal berkualitas hingga saat ini
Pada 20 Oktober 1966, Vrije Universiteit di Amsterdam menganugerahi Prof. Mulia gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu teologi. Penghargaan pertama kepada orang Indonesia dari lembaga pendidikan di luar negeri. Dedikasinya pada bidang pendidikan di Indonesia dianggap sebagai pioner. Mulia juga terkenal karena kepeloporannya dalam bidang oikumene dan mendorong kelahiran Dewan Gereja-gereja di Indonesia. Sutan Gunung Mulia telah berpartisipasi dalam pembangunan negara dan dalam konsultasi internasional.
Sutan Gunung Mulia wafat di Amsterdam, 11 November 1966. Seorang aktivis yang gigih, agamawan, dan pecinta masa depan. Toko Buku Gunung Mulia, PGI, LAI, UKI, STT Jakarta, serta sejumlah lembaga keagamaan (Kristen) adalah warisan berharga yang ditinggalkannya. (Gie/dbs)