Anda akan kagum di awal saat melihat video clip ‘The Man’ yang dirilis pada 27 Februari 2020. Pemeran utama di dalam video itu adalah seorang pria tampan dengan jenggot dan kumis yang macho serta dikelilingi wanita cantik. Anda akan kaget karena yang memerankan cowok jantan itu adalah Tylor Swift sendiri. Saat memotret anak bungsu saya Yosafat di depan patung lilin diva top dunia ini di New York, tidak ada kesan maskulin sama sekali.
Apa yang sebenarnya Swift ungkapkan dalam lagunya itu? Dia ingin menyindir pria dengan toxic masculinity yang sangat berbahaya. Sejak dulu pria dianggap sebagai makhluk yang lebih dominan ketimbang wanita. Ketidakmampuan Adam membimbing Hawa dan bertanggung jawab saat kesalahan terjadi, dianggap sebagai suatu kelemahan yang memalukan.

Tahu lagu ini?
Diciptakan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di kerling wanita
Lirik lagu “Sabda Alam” karya Ebet Kadarusman itu mengungkapkan bahwa sejak semula pria dominan terhadap wanita, sehingga bisa menjajah wanita seenaknya. Meskipun begitu, Ebet dengan cerdik melakukan twisted di akhir lagunya, bahwa seperkasanya pria ternyata ada saat tertentu bertekuk lutut hanya karena kerlingan wanita.
Meskipun ‘ditakdirkan’ lebih dominan, ternyata di alam nyata para pria tertekan karena dilarang menggunakan emosi prianya secara gamblang. Pria dianggap gampang meledak dan melontarkan makian di depan umum. Namun karena alasan etika, sopan santun dan kearifan lokal, ‘gunung berapi’ ini mau tidak mau, senang tidak senang, harus memendam luapan emosinya. Seperti halnya gunung, tanpa kita sadari, di dalam tanah lava bergolak dan menanti saat yang tepat untuk diletuskan.
Nah, Swift lewat lagunya itu ingin menyindir para pria yang sudah terpapar racun kejantanan ini.
Mau baca syairnya?
I would be complex
I would be cool
They’d say I played the field before
I found someone to commit to
And that would be okay
For me to do
Every conquest I had made
Would make me more of a boss to you
I’d be a fearless leader
I’d be an alpha type
When everyone believes ya
What’s that like?
I’m so sick of running
As fast as I can
Wondering if I’d get there quicker
If I was a man
And I’m so sick of them
Coming at me again
‘Cause if I was a man
Then I’d be the man
I’d be the man
I’d be the man
They’d say I hustled
Put in the work
They wouldn’t shake their heads
And question how much of this I deserve
What I was wearing, if I was rude
Could all be separated from my good ideas and power moves
And we would toast to me, oh, let the players play
I’d be just like Leo, in…
Belati Kritik

Bayangkan bagaimana frustasinya jika seorang wanita diminta untuk terus mengimbangi ‘lari’ seorang pria dalam mengejar ambisinya. “I’m so sick of running as fast as I can, wondering if I’d getthere quicker if I was a man,” begitu jeritan hati seorang Taylor Swift. Dari namanya tersirat begitu cepatnya diva cantik ini menjahit kalimat yang begitu sederhana sekaligus mendalam maknanya.
Mengapa Swift memakai kata ‘racun’ di sini? Dominasi gender yang diekspresikan dengan kata-kata kasar, tindakan semua gue—seperti membuat graffiti dengan kencing sembarangan di tembok di wilayah publik—jelas tidak elok. Sementara itu, para wanita yang entah sadar atau tidak—meminjam istilah Ebet Kadarusman—dijadikan perhiasan sangkar madu dengan berbagai macam tricky gimmick untuk menjebak ciptaan Tuhan yang anggun ini.
Kapal pesiar mewah dan jabatan yang membuat mulut berkata, “Wah!” merupakan racun yang mematikan. Swift dengan tajam menghunjamkan belati kritiknya bahwa wanita muda yang cantik mau dinikahi opa keriput asal diberi berlian besar berupa kekuasaan palsu. Mengapa palsu? Karena pada akhirnya yang berkuasa tetap primata cerdas di puncak piramida.
Cewek-cewek muda yang begitu haus akan kasih sayang seorang ayah yang gagah sekaligus punya hati yang lembut dibuat ‘terkapar’ oleh pesona pria yang kasar di kantor dan di rumah, tiba-tiba saja bisa menjadi “Worl’d Greatest Dad” saat berada di tempat umum dan diperhatikan banyak orang.
Bagaimana pria yang kasar di kantor, memaki-maki pelayan di kapal pesiarnya, seketika beralih rupa menjadi ayah yang menepuk kepala anak perempuannya dengan lembut dan mengangkatnya tinggi-tinggi serta memandangnya penuh kasih? Siapa gadis muda yang tidak terpincut?
Video clip yang penggarapannya didominasi Swift sendiri yang mentransformasi dirinya secara drastis menjadi pria perkasa idaman wanita ini memakai suara Dwayne Johnson. Pas. Klop. Wanita ayu ala Swift berpadu dengan suara besar tegas bintang laga Hollywood.
Kesetaraan Gender

Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kerinduan akan kesetaraan gender yang benar-benar adil, imbang dan manusiawi. Lagu Taylor Swift ini mengingatkan saya akan kisah seorang pria yang ingin jadi wanita. Saat dia berangkat bekerja, istrinya masih pakai daster tidur dan memberikan kiss bye kepadanya. Dia merasa tidak adil karena bangun pagi untuk bekerja sementa istri masih bisa bersantai di rumah.
Dalam video clip ‘Tha Man’, sang istri justru masih pulas tertidur di ranjang. Malamnya dia berdoa agar Tuhan menukar posisi. Dia jadi istri dan istri jadi dia. Karena doanya sungguh-sungguh, Tuhan mengabulkannya.
Baru memasuki hari pertama pertukaran gender itu, sang suami yang kini menjadi istri sudah mengalami stres berat. Yang dia bayangkan bahwa istrinya bisa enak-enakan istirahat di rumah ternyata berbalik seratus delapan puluh derajat. Pembantu tiba-tiba minta pulang, dapur berantakan, pakaian kotor menumpuk, anak nakal di sekolah sehingga dipanggil guru. Dia tidak tahan lagi dan meratap, “Tuhan, cukup. Cukup, Tuhan. Kembalikan aku menjadi suami lagi.”
Tiba-tiba dia mendengar suara yang jelas dan tegas, “Boleh saja, tetapi tunggu sembilan bulan lagi karena kamu sudah terlanjur hamil.”
