“Saya ngeri melihat gejala yang terjadi di dekade ini,” kata Chandran, seorang kenalan baru yang mengantar kami ke airport.
“Maksud Anda tentang virus Corona yang menakutkan itu?” tanya saya.
“Bukan, lebih dari Corona karena virus ini sudah menyebar ke seluruh dunia dan menginfeksi banyak kalangan terutama kalangan muda,” jelasnya lagi.
Rupanya Chandran adalah pensiunan pekerja gereja yang berasal dari dunia swasta, pernah menjadi direktur penjualan sebuah perusahaan besar sebelum memenuhi panggilan sebagai pekerja penuh waktu sebuah gereja. Walaupun pensiun secara formal, ia tidak pernah henti melakukan ‘pelayanan’ dalam bentuk lain di bidang keluarga.
“Melalui sosial media, saya sering memberi info, saya akan ada di kedai kopi di sini pada jam segini. Silakan kalau ada yang ingin berdiskusi tentang satu topik tertentu. Misalnya persiapan pranikah, membina hubungan yang lebih baik,” jelasnya lagi. “Biasanya ada 5 sampai 10 orang datang untuk berdiskusi sekitar 1-2 jam di kedai kopi tersebut’.
“Wow, sebuah pendekatan yang menarik,” saya menimpalinya.
“Dari diskusi itulah, saya menyimpulkan bahwa virus baru Hollywood, Bollywood, dan berita di media sosial lain telah menjangkiti anak muda khususnya,” lanjutnya lagi.
“Misalnya?” kali ini saya mencoba eksplorasi lebih dalam lagi.
Virus Kebebasan

“Tontonan tentang hubungan sebelum nikah, perselingkuhan, pesta sebelum melepas masa lajang seperti yang diperlihatkan secara gamblang misalnya di film yang popular Crazy Rich Asians, menjangkiti banyak pemuda pemudi kita. Bagi mereka, pesta seperti itu dan hubungan di ranjang seperti yang ditunjukkan walau tidak secara vulgar adalah suatu budaya baru. Bahkan ada pemimpin pemuda di gereja yang ‘hidup bersama’ dan tidak merasa bersalah karena memang ini dianggap sebagai hal biasa. Banyak pelajar yang hamil di luar nikah, mengadakan hubungan di dalam kelas atau di kamar mandi di sekolah, dianggap kejadian biasa,” kali ini mimik mukanya berubah dengan serius.
Bincang serius tapi santai selama 50 menit itu berakhir ketika kami sampai di bandara. Tapi kenangan diskusi itu seakan membekas karena virus yang begini ternyata tidak ditanggapi serius oleh banyak pihak, seakan dianggap sebagai gejala zaman.
Yang menjadi penggugah adalah, apakah kita sadar bahwa kita sudah berada dalam zona bahaya soal virus kebebasan sehingga membuat orang kehilangan pegangan terhadap prinsip kebenaran?
Saya yakin jawabannya adalah sudah. Tetapi, berapa banyak keluarga, sebagai organisasi terkecil melakukan proteksi sehingga virus kebebasan ini tidak menyebar secara luas?
Langkah Kuratif dan Preventif
Kalau menghadapi Covid-19 semua negara, mulai dari presiden sampai ke tingkat RT, ikut berpartisipasi dalam menangkal penularannya dan kegiatan itu masif dan terlihat secara nyata di mana pun. Mulai dari bandara dan kantor serta perumahan dengan pemeriksaan suhu tubuh secara langsung, lalu disediakan cairan sanitasi tangan hampir di semua sudut bahkan sudah mulai ada gerakan ‘Namaste over handshake’ yang di-endorse oleh Mendikbud juga.
Yang lebih ‘keras’ lagi, banyak perusahaan sudah menerapkan larangan bepergian ke luar negeri dan menerima tamu dari luar negeri. Artinya, semua upaya untuk mencegah penularan virus Covid-19 ini dilakukan serentak. Ini yang meyakinkan saya bahwa penularannya akan berhenti.
Namun, menghadapi serangan virus kebebasan yang saya sebut virus “holiwood” ini seakan tidak ada gerakan masif, bahkan di tingkat keluarga sekalipun. Padahal, dampaknya bagi keluarga sangat besar.
Itu sebabnya, kita perlu melakukan langkah kuratif dan preventif agar budaya kekudusan ini kembali seperti semula dan kita, khususnya keluarga Kristen, tidak terjerembab dengan budaya asing yang merupakan ilah baru dalam kehidupan spiritualitas kita.
Kita fokuskan pada keluarga sebagai banteng terkecil dan pertama dalam menghalangi penyebaran virus ini.
Pertama, apakah ayah sebagai kepala keluarga menyadari bahwa kehidupan yang benar adalah tuntutan rohani yang tidak bisa dikompromikan? Kalau ini iya, maka perlu dilakukan pencegahan dini sejak dari anak masih belia.
Pencegahan ini tidak serta merta dengan melarang anak untuk nonton film atau tidak menggunakan gawai untuk mencegah tertularnya virus ini. Karena cara ini justru memacu pemberontakan yang malah akan berakibat lebih fatal.
Hal yang diperlukan adalah kembalinya jiwa imam dalam hati ayah untuk menekankan kembali pentingnya hati dan pikiran yang benar. Ini tidak dapat didelegasikan. Ayah, sebagai imam dalam keluarga, harus mengajarkan bagaimana harus hidup secara benar menghadapi serangan virus ini. Harus secara gamblang dijelaskan bahaya virus kebebasan seksual, berpikir dan bertindak. Penekanan yang konsisten disertai tindak tanduk ayah sebagai role model akan membuat anak bisa memahami bahwa mana yang boleh ia ikuti dan mana yang seharusnya ia hindari.
Masalahnya adalah ayah sudah kehilangan jati diri sebagai imam. Banyak yang sibuk dengan urusannya sendiri. Bahkan tidak punya waktu berkumpul dan membahas firman Tuhan dengan anak-anaknya. Semua diserahkan kepada ibu atau guru Sekolah Minggu atau gereja. Ketika keluarga kehilangan jiwa imam dari sang ayah, mudah diduga bahwa keluarga itu pasti terjangkit virus kebebasan yang membuat kehidupan rohani anak-anak menjadi dingin.
Kedua, apakah ibu sebagai kepala rumah tangga memiliki perhatian bukan hanya pada hal jasmani, tapi juga hal jiwani. Emosi anak dalam keluarga mudah dideteksi oleh ibu yang lebih sering berinteraksi dengan menggunakan perasaannya. Bila deteksi dini oleh ibu ini rapi, maka gejolak emosi akan mudah dipahami oleh keluarga sebelum sang anak melampiaskannya keluar.
Hal yang sering juga menjadi masalah, banyak ibu yang juga menjadi wanita karier atau setidaknya memiliki kegiatan ekonomi di luar rumah. Kesibukan yang menyita waktu dan tenaga membuat ibu juga kehilangan sense keibuannya dalam melihat aspek jiwani anak. Ini yang harus dihindari. Kalau kedua peran ini kembali ke peran mula-mula, yaitu keluarga sebagai fokus kehidupan, maka penyebaran virus negatif ini akan dapat diminimalkan. Kalau tidak, apalagi kalau sudah terjangkit dengan berat, maka keluarga akan berantakan. Kesuksesan karier dan kekayaan tidak akan membawa kebahagiaan bila masalah keluarga justru menimpa. (PB)
Sumber: Majalah INSPIRASI Indonesia