Pdt. Dr. SAE Nababan: Pelopor Gerakan Ekumenis Asia, Berjuang dengan Teologi Keseimbangan

Pdt. Dr. SAE Nababan: Pelopor Gerakan Ekumenis Asia, Berjuang dengan Teologi Keseimbangan

Deskripsi Buku

Judul      : Selagi Masih Siang

Subjudul: Catatan Perjalanan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan

Penulis : Soritua A.E. Nababan

Penerbit: BPK Gunung Mulia

Tebal     : viii+ 470 hlm.

Ukuran  : 14,5 x 23 cm

ISBN      : 978-602-231-760-9

Ephorus (Emiritus) Pdt. Dr. Soritua Albert Ernst (SAE) Nababan dikenal aktif dalam berbagai gerakan ekumenis di tingkat nasional dan dunia. Ia juga kritis dan vokal menyuarakan isu kemanusiaan dan keadilan saat mengemban peran sebagai pimpinan gereja, baik di Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI, kini PGI) maupun di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kontribusinya mendapat banyak apresiasi dan penghargaan.

Buku biografi Selagi Masih Siang terbitan BPK Gunung Mulia ini memaparkan perjalanan hidup Pdt. Nababan yang terbagi dalam 10 bab. Dimulai dengan mengulas secara kronologis perjalanan SAE Nababan dari masa kecilnya di Tarutung dan Siborong-borong, studi teologi di Jakarta hingga Jerman, serta kiprahnya di gerakan ekumenis Indonesia dan dunia.

Kisahnya diawali dengan sajak “Lembah Silindung” karya sastrawan Sitor Situmorang, yang menggambarkan keindahan Lembah Rura Silindung dengan ibu kota Tarutung, tempat kelahiran SAE Nababan pada 24 Mei 1933. Ayahnya Jonathan Laba Nababan dan ibunya bernama Erna Dora Lumbantobing. Keduanya berprofesi sebagai guru, pendidik yang juga aktivis.

Ayahnya aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen. Sementara ibunya juga aktif dalam gerakan kemerdekaan dan menjadi Ketua Persatuan Wanita Repulik Indonesia (Perwari) Siborongborong. Mereka menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kebersihan, kerapihan, rajin dalam belajar dan beribadah, serta kepedulian sosial.

Bercita-cita menjadi dokter, namun ayahnya ingin ia menjadi pendeta. Nababan lulus dari STT Jakarta pada 1956 dengan predikat cum laude. Ia ditahbiskan sebagai pendeta pada 24 Juni 1956 di HKBP Pematang Siantar, Sumatra Utara. Setahun kemudian melanjutkan studi di Universitas Rupeto Corola, Heidelberg, Jerman dan lulus gelar Doctor Theologiae pada 1963 dengan predikat cum laude. Pdt. Nababan menikah dengan Alida Lientje Tobing, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) IKIP Medan.

Teologi Keseimbangan

Pada bab 5 dipaparkan tentang Teologi Keseimbangan yang bertujuan untuk menjembatani dua kutub pandangan yang berhadapan secara diametral. Pandangan pertama menyatakan, mereka yang unggul akan berhasil maju dan bertahan hidup. Prinsipnya berdasarkan hukum rimba, survival of the fittest. Pada kutub kedua menginginkan terciptanya kehidupan “sama rasa dan sama rata” yang utopis (hlm. 235).

Untuk menjembatani hal itu, Pdt. SAE Nababan mengusulkan tiga pendekatan solutif berdasar pada spiritualitas dan moralitas bermasyarakat yang bersumber dari ajaran Kristen. Pertama, gereja-gereja berdasarkan realitas yang ada dalam masyarakat. Gereja bisa makmur jika masyarakat makmur (Yeremia 29:7).

Kedua, kemiskinan dan ketidakadilan adalah hasil proses sejarah yang ekspolitatif. Ketiga, Allah mencintai dan mengasihi semua manusia, tetapi ketidakadilan menciptakan kesenjangan yang juga tercermin dalam kehidupan gereja. Ketiga landasan spiritual dan moral inilah yang secara konsisten dipegang dan menjadi obor perjuangan Pdt. Nababan.

Dalam Teologia Keseimbangan, gereja berjarak namun tidak memisahkan diri dari kekuasaan. Prinsip ini dapat menjadi panduan bagi umat dan pemimpin kristiani saat berhadapan dengan kekuasaan. Demikian pula dalam sikap hidup keseharian di tengah masyarakat majemuk.

Krisis HKBP

Bab 7 sampai 9 mengulas pemikiran dan kiprah perjuangan Pdt. Nababan sebagai pemimpin gereja yang aktif pada level lokal, nasional, regional, dan global.

Perjuangannya dalam melakukan perbaikan Gereja HKBP berimplikasi pada persinggungan dengan kekuasaan negara. Akar masalah dan konflik internal dalam HKBP akhirnya menjadi lahan subur bagi intervensi Negara. Landasan moral Pdt. Nababan sangat jelas, sebagaimana dikatakan: “Gereja tidak boleh ikut-ikutan merebut atau ikut dalam perebutan kekuasaan, tetapi harus menjinakkan kekuasaan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan. Cara yang diterapkan Yesus adalah gerakan moral, tanpa sedikitpun bentuk kekerasan” (hal. 393).

Narasi krisis HKBP ini mendapat porsi cukup banyak. “Dengan menceritakan permasalahan seputar krisis HKBP, saya ingin mencontohkan bagaimana pertumbuhan gereja untuk menjadi dewasa di tengah masyarakat yang majemuk, sekaligus sikapnya dalam menghadapi penguasa,” ujarnya.

Bagian terakhir, bab 10 mengulas masalah-masalah yang dihadapi dalam pelayanan oikumenis serta tantangan ke depan dan hal-hal yang dapat dilakukan bersama. Buku ini memaparkan pemikiran Pdt. Nababan yang terasah tajam dan jernih. Tema-tema yang diunggah merupakan kontekstualisasi Injil.

Ide-ide aktual seperti penekanan akan peran perempuan dan pemuda, dialog antar-komunitas agama, gaya hidup dan kesenjangan sosial merupakan refleksi spiritualnya akan nilai-nilai Injil. Pengalaman hidup demgan keterbatasan, persahabatan, dan perjumpaan dengan Tuhan telah membentuk pribadinya dan memampukannya melewati sejumlah perjuangan berat yang dihadapi. (Gie)

Join the discussion

Instagram has returned empty data. Please authorize your Instagram account in the plugin settings .

Menu

Instagram

Instagram has returned empty data. Please authorize your Instagram account in the plugin settings .

Please note

This is a widgetized sidebar area and you can place any widget here, as you would with the classic WordPress sidebar.